Prof Dr H A Khumaidi Ja’far, S Ag, MH, Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Provinsi Lampung
Hari raya Idul Adha disebut juga hari raya qurban, karena pada hari itu seluruh umat Islam melakukan kegiatan penyembelihan hewan qurban sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Berqurban merupakan wujud syukur kita kepada Allah SWT atas segala kenikmatan yang telah diberikan kepada kita semua, bahkan apabila kita ingin menghitung nikmat-nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita, tentunya kita tidak akan sanggup untuk menghitungnya, hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS An-Nahl ayat 18).
Berdasarkan ayat ini jelas bahwa kita diperintahkan untuk mensyukuri akan nikmat-nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita. Salah satu wujudnya kita diperintahkan untuk berkurban, hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Kautsar ayat 1-2 yang artinya:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah sholat karena tuhanmu dan berqurbanlah.”
Ayat ini jelas bahwasanya sebagai wujud syukur, kita diperintahkan untuk mendirikan sholat sembari berkurban, sehingga berdasarkan ayat ini bahwa belum sempurna sholat seseorang sebelum ia berkurban.
Menurut para pakar bahasa Arab, bahwa qurban berarti suatu sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Qurban juga bisa didefinisikan sebagai penyembelihan hewan ternak yang dilaksanakan atas perintah Allah SWT pada hari raya idul adha dan hari-hari tasyriq (ayyam al-tasyriq), yakni tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Dalam fiqih, qurban dikenal dengan istilah udhhiyyah yang berarti hewan yang disembelih dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT pada hari idul adha sampai akhir hari tasyriq. Bahkan salah satu hikmah berqurban adalah dapat menjauhkan diri dari sifat-sifat kebinatangan.
Adapun hukum ibadah qurban menurut para ahli hukum Islam adalah sunah muakadah, yaitu ibadah yang sangat dianjurkan bagi orang Muslim yang mampu. Ketentuan mampu di sini tidak selalu identik dengan orang kaya, artinya orang yang berqurban tidak mesti harus kaya.
Dalam pandangan Mazhab Syafii, apabila seseorang masih mempunyai sejumlah uang di luar kebutuhan dan biaya hidupnya pada hari raya idul adha dan tiga hari berikutnya, yakni hari-hari tasyriq (ayyam al-tasyriq), maka baginya telah berlaku kewajiban untuk berkurban. Dan perlu diperhatikan bahwa berqurban itu tidak hanya cukup sekali dalam seumur hidup, tetapi selama memiliki kemampunan, maka setiap tahun kita berkewajiban untuk berkurban.
Berqurban merupakan bukti syiarnya agama Islam, hal ini terbukti seluruh umat Islam menyelenggarakan pemotongan hewan kurban, bahkan berqurban juga bisa sebagai wujud kepedulian kita terhadap sesama manusia, di mana hasil pemotongannya dibagikan kepada orang lain, khususnya fakir dan miskin.
Berqurban juga bisa sebagai bukti ketaatan kita kepada Allah SWT, hal ini sebagaimana gambaran yang dikisahkan nabi Ibrahim dan Ismail, di mana nabi Ibrahim sampai tega mengorbankan anak kesayangannya untuk disembelih (dikorbankan) demi mewujudkan ketaatannya kepada Allah SWT.
Berqurban juga bisa berfungsi sebagai sarana untuk mengurangi akan keburukan-keburukan atau dosa-dosa kita, hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang artinya: “Ketahuilah sesungguhnya kurban-qurban yang kalian lakukan (kurbankan) akan menjadi penyelamat bagi kalian (para pelaku kurban) dari keburukan dunia dan keburukan akhirat ”.
Di sisi lain Rasulullah SAW sangat membenci dan mengancam orang-orang yang tidak mau atau enggan berkurban, hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang artinya: “Barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk berqurban tetapi tidak mau berkurban, maka mati sajalah ia sebagai orang Yahudi atau orang Nasrani.”
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “ Barangsiapa yang memiliki kemampuan untuk berqurban tetapi tidak mau berqurban, maka jangan sekali-kali mendekati tempat sholat kita. ”
Berdasarkan ayat dan hadis Rasulullah SAW tersebut, jelaslah bahwa berqurban memiliki rahasia yang sangat luar biasa, di mana di satu sisi berqurban bisa menjadi penyelamat dari keburukan di dunia dan akhirat, dan di sisi lain berqurban juga bisa menjadi sarana penyempurna ibadah.
Dengan demikian jelaslah bahwa berqurban bisa menjadi sarana sosial sekaligus menjadi sarana ibadah. Untuk itu berqurban jangan hanya dipahami secara tekstual saja, tetapi juga harus dipahami secara konstekstual. Artinya bahwa secara luas berqurban tidak serta merta hanya dapat diwujudkan dalam bentuk pemotongan hewan sebagaimana yang biasa dilakukan setiap hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq, tetapi berqurban juga bisa diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang lain (seperti harta, tenaga, pikiran/ide, waktu, dan lain-lain).
Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang artinya “ Barangsiapa yang mempunyai ilmu, maka berikanlah ilmunya, barangsiapa yang mempunyai harta, maka berikanlah hartnya, dan barangsiapa yang mempunyai kekuatan/tenaga, maka berikanlah kekuatan/tenaganya.
Namun kenyataan dalam masyarakat masih banyak orang-orang yang enggan untuk berkurban, hal ini bukan saja karena mereka tidak tahu akan rahasia pentingnya berkurban, tetapi juga karena memang mereka pelit. Untuk itu perlu adanya sosialisasi yang optimal tentang kesadaran berkurban, baik berqurban dalam bentuk hewan (yang waktunya telah ditentukan), maupun berqurban dalam bentuk-bentuk yang lain, sehingga tidak ada lagi orang yang pelit atau enggan untuk berqurban, yang pada akhirnya kepedulian antar sesama dapat diwujudkan dan dirasakan bersama.
Bahkan di sisi lain ibadah qurban juga bisa sebagai ritual ketundukan sekaligus inspirator pengembangan kesalehan sosial bagi orang Muslim, sehingga ibadah qurban tidak hanya menjadi kegiatan rutinitas yang sifatnya sekedar bagi-bagi daging, melainkan ibadah qurban dapat mengandung 3 (tiga) makna yang dalam yaitu Pertama, ibadah qurban merupakan bentuk kesediaan manusia untuk mengorbankan harta bendanya demi menuju jalan Allah. Kedua, ibadah qurban dilakukan demi membela dan membantu kaum dhuafa’, khususnya fakir dan miskin. Ketiga, ibadah qurban dapat dijadikan spirit atau motivasi untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
Dengan demikian ibadah qurban mengandung pesan substansial agar kita selalu termotivasi untuk membantu meringankan penderitaan orang lain, sehingga berqurban adalah bagaimana kita bisa berbagi kepada sesama. Wallahualam bishawab.