Salah satu pembahasan di dalam Alquran yang selalu menarik dan terus dikaji yaitu tentang perempuan. Dalam surat Ali Imran ayat 14, Allah SWT berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.
menarik, khususnya bagi kaum lelaki, adalah rasa yang ada”.
Ayat di atas menginformasikan bahwa hal yang paling menarik bagi lelaki adalah perempuan. Namun, tidak dapat terelakkan bahwa di antara teks Alquran yang berbicara mengenai perempuan kerap dipahami dengan cara keliru.
Pembahasan menarik yang sebenarnya sudah final didiskusikan para ulama terdahulu yaitu mengenai peran sosial perempuan dalam aktivitas muamalah. Ada sebagian yang berasumsi bahwa perempuan menurut agama, tidak memiliki tempat pada tatanan kehidupan sosial.
Karenanya dia hanya memiliki peran pada sektor domestik atau mengurusi keadaan ‘rumah’ saja. Benarkah perempuan harus berdiam di rumah dan tidak boleh aktif di luar?
Pendapat yang mengatakan demikian karena merujuk pada nash Alquran pada surat Al Ahzab ayat 33, firman-Nya sebagai berikut:
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Ayat di atas terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama tafsir. Perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut wajar adanya, karena mereka memiliki hujjah mengapa suatu ayat cenderung ditafsirkan seperti yang mereka pahami dalam koridor dasar-dasar keilmuan mereka yang mumpuni.
Dalam kitab al-Jami ‘li Ahkam al-Qur’an, Imam Al Qurthubi (w 671 H) berpendapat bahwa ayat di atas merupakan perintah untuk menetap di rumah meskipun pada redaksi ayat ditunjukkan untuk istri-istri Nabi, tetapi berlaku juga untuk perempuan selain mereka.
Imam Qurthubi juga menambahkan bahwa perempuan dipenuhi tuntutan agar tinggal di rumah terkecuali dalam keadaan darurat boleh untuk meninggalkan rumah.
Pendapat lain diberikan Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an al-Azhim bahwa larangan bagi perempuan khususnya istri Nabi dan perempuan muslimah umumnya untuk meninggalkan rumah jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama, misalnya sholat di masjid. Pendapat ini lebih fleksibel dibandingkan sebelumnya.
Adapun Sayyid Quthub dalam kitabnya Tafsir fi Zhilal al-Qur’an berpendapat bahwa perempuan di masa awal Islam pun ikut bekerja. Hal tersebut karena kondisi yang menuntut mereka untuk bekerja.
Permasalahan di atas terletak pada Islam tidak cenderung mendorong perempuan keluar rumah, terkecuali untuk pekerjaan yang menuntut ditunaikan untuk kebutuhan masyarakat ataupun atas dasar kebutuhan perempuan tertentu bukan terletak pada persoalan ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja.
Seperti kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam keluarga tersebut. Pandangan Sayyid Quthub tersebut selaras dengan pendapat pakar tafsir Alquran yang juga pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta Prof M Quraish Shihab.
Merujuk pada realitas sosial dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ayat di atas kurang tepat jika dijadikan hujjah untuk membatasi kiprah kaum perempuan di ruang publik. Quraish Shihab menyatakan pendapat yang menyatakam pembatasan ruang gerak perempuan kurang kuat, Apakah hal tersebut merupakan seuatu hukuman untuk perempuan sehingga harus terus-menerus berada di rumah kecuali adanya darurat atau kebutuhan yang mendesak?
Pendapat yang membatasi dan melarang perempuan untuk aktif di ruang publik merupakan pandangan yang kontra produktif dengan ajaran Islam. Islam memerintahkan kepada pemeluknya baik laki-laki atau perempuan untuk memberikan yang terbaik bagi kemaslahatan umat.
Dengan membatasi atau melarang perempuan aktif berkiprah di masyarakat secara tidak langsung telah mengabaikan paling tidak separuh potensi anugerah yang Allah SWT berikan kepada kaum Hawa itu. Kendati demikian, keberadaan perempuan di luar rumah dan aktivitas kariernya tetap berada dalam koridor yang dibenarkan syariat. Wallahu ‘alam bi ash-shawab. (Isyatami Aulia/Nashih).