Riya adalah melaksanakan ketaatan seseorang kepada Allah SWT dengan disertai keinginan untuk mendapat pujian dari orang lain (manusia) atau ingin mendapatkan sesuatu yang lain tanpa menginginkan keridhaan dari Allah SWT (tidak dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT). Riya diartikan pula memamerkan kebaikan darinya.
Sikap riya, bisa saja muncul dalam masalah ibadah ataupun masalah lainnya. Riya dalam masalah selain ibadah seperti, memperlihatkan pakaian yang kasar, berpakaian dengan warna yang mencolok, melembutkan suara, dan lain-lain. Adapun dalam masalah ibadah, seperti sholat, puasa, haji, zakat, sedekah, dan lainnya agar dilihat orang banyak dan masih banyak lainnya.
Dalam Tafsir Al-Misbah, pendiri Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, Prof M Quraish Syihab, mengatakan riya adalah sesuatu yang abstrak, sulit, bahkan mustahil dapat dikenal orang lain. Bahkan yang bersangkutan sendiri tidak menyadarinya. Apalagi jika dia sedang dipengaruhi dengan kesibukannya sendiri.
KH Abdullah Gymnastiar menjelaskan dalam bukunya Shalat Best of The Best, riya adalah perbuatan yang merusak amal saleh, karena mengharap pujian dari manusia yaitu seperti api yang membakar kayu bakar. Termasuk juga di dalamnya orang tidak jadi ibadah karena takut dipuji.
Sayyid Mahdi berkata “Riya dalam bentuk apapun adalah Syirik. Sesungguhnya orang yang melakukan sesuatu karena orang lain seharusnya mengambil ganjaran dari orang itu. Namun, siapa pun yang melakukan sesuatu secara ikhlas karena Allah SWT, maka dia akan memperoleh ganjarannya dari Allah SWT.
Dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin, Imam Abu Hamid Al Ghazali membagi tingkatan riya menjadi dua yaitu dari pertama segi tujuan riya dan kedua dari hal yang dipakai untuk riya.
Orang yang melakukan perbuatan riya, tentu memiliki maksud dan tujuan di dalam hatinya. Adakalanya dia melakukan Riya disebabkan menginginkan pujian, kedudukan, kemuliaan, popularitas, dan lain sebagainya.
Adapun lima perkara yang dapat dijadikan sebagai bahan beruat riya yaitu, kumpulan perhiasan yang biasanya dipertontonkan seseorang kepada masyarakat. Yaitu tubuh, pakaian, ucapan, perbuatan, dan pengikut.
Orang yang melakukan sifat riya termasuk kategori orang munafik, sifat ini juga termasuk dalam koridor-koridor perilaku syirik asghar (kecil). Disebutkan dalam Alquran bahwa orang-orang munafik menipu Allah SWT dan perilaku riya sebagaimana terekam dalam QS An Nisa ayat 142 sebagai berikut:
َََََََََََََََََََََُُُُُُُُُُُّّّْْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Dalam ibadah misalnya, sifat buruk seringkali menghantui kegiatan ibadah kita. Apalagi dunia digital saat ini. Apakah semua yang kita lakukan benar-benar mengharapkan ridha dari Allah dan menyerahkan segalanya kepadaNya?
Ataukah hanya ingin dilihat baik oleh orang lain sehingga berunjung ingin dipuji dan dimuliakan? Bernilai pahalakah atau justru menjadi ladang dosa dari perbuatan riya? Fenomena ini sering dirasakan mereka yang sadar, dan dilupakan mereka yang lalai.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada para umatnya agar senantiasa menebar kebaikan meski itu hanya satu ayat atau satu kalimat. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Jabir bin Abdullah RA:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فلَهُ أَجْرُها وأجرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بعدَه، من غير أن يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan dalam Islam, maka dia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala-pahala mereka.” (HR Muslim).
Media sosial memiliki sisi negatif dan positifnya masing-masing. Namun bagaimana cara memanfaatkan media sosial kembali lagi kepda para penggunanya. Terlepas dari bagaimana hukum seseorang memamerkan ibadahnya didalam dunia sosial, tidaklah bisa kita simpulkan. Hal ini harus ditanyakan kembali pada masing-masing individu penggunanya. Sungguh, Allah SWT Mahatahu. “Orang Mukmin menutup aib dan menasihati. Orang jahat membuka aib dan mengata-ngatai.” (Syeikh Fudhail bin ‘Iyadh, w. 803 M). (Nurul/ Nashih)