JAKARTA – Ketika masyarakat Indonesia mendengar kata fatwa, tidak diragukan lagi di hati dan pikiran mereka akan tebersit Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Lembaga para cendekiawan dan ulama ini memang salah satu lembaga keumatan yang paling aktif dalam menjawab persoalan umat dengan merilis fatwa.
MUI dikenal independen, aspiratif, mendengar dan menghadirkan solusi bagi persoalan seluruh elemen masyarakat Muslim Indonesia. Tentunya menjadi modal baik jika kita mengenal metodologi fatwa MUI.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita mulai dari pertanyaan, apa itu fatwa? Pengertian fatwa sendiri menurut Yusuf Qardlawi adalah persoalan yang diajukan kepada seseorang atau sekelompok pakar di bidang ilmu agama baik secara langsung maupun tertulis, berasal dari permasalahan pribadi atau masyarakat luas.
Pihak pemberi fatwa atau mufti, mau tidak mau harus menjawab persoalan yang diajukan itu, terlebih jika tidak ada orang lain yang mampu menjawabnya. (Lihat Yusuf Qardlawi, Mujibaatut Taghayyuril Fatwa fi ‘Ashrina, hlm. 8)
Ketiga, sebagai pembimbing dan pelayan umat. Keempat, sebagai perbaikan (islah) dan pembaruan (al-tajdid).Kelima, sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar.
Seperti apakah metode penetapan fatwa MUI? Mengutip Peraturan Prganisasi MUI yang diterbitkan pada 2015 lalu, Tentang Penetapan Fatwa dalam Bab 3 Pasal 5 ayat 1 dijelaskan bahwa sebelum fatwa ditetapkan, harus dilakukan kajian komperhensif terlebih dahulu guna memperoleh deskripsi utuh tentang obyek masalah, rumusan masalah, termasuk dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan, yang dimaksud dengan kajian komprehensif tersebut yaitu bahwa kajian tersebut mencakup telaah atas pandangan fuqaha mujtahid, masa lalu, pendapat para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar, telaah atas fatwa-fatwa yang terkait, serta pandangan ahli fikih terkait masalah yang akan difatwakan.
Sementara pada Pasal 5 ayat 3 disebutkan bahwa kajian komprehensif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 antara lain dapat melalui penugasan pembuatan makalah kepada Anggota Komisi atau ahli yang memiliki kompetensi di bidang yang terkait dengan masalah yang akan difatwakan.
Lebih lanjut, dijelaskan pada Pasal 6 ayat 1 bahwa [enetapan fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-dalilnya (ma’lum min al-din bi al-dlarurah) dilakukan dengan menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya.
Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa penetapan fatwa terhadap masalah yang terjadi perbedaan pendapat (masail khilafiyah) di kalangan madzhab, maka dilakukan dua hal yaitu yang pertama penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu di antara pendapat-pendapat yang dikemukakan melalui metode al-jam’u wa al-taufiq.
Kedua, jika tidak tercapai titik temu antara pendapat-pendapat tersebut, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran.
Pasal 6 ayat 3 menyebutkan penetapan fatwa terhadap masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan madzhab atau ulama yang mu’tabar, didasarkan pada ijtihad kolektif melalui metode bayani dan ta’lili (qiyasi, istihsaniy, ilhaqiy, istihsaniy dan sad al-dzaraa’i) serta metode penetapan hukum (manhaj) yang dipedomani oleh para ulama madzhab.
Sedangkan Pasal 6 ayat 4 menyatakan dalam masalah yang sedang dibahas dalam rapat dan terdapat perbedaan di kalangan anggota Komisi Fatwa, dan tidak tercapai titik temu, maka penetapan fatwa disampaikan tentang adanya perbedaan pendapat tersebut disertai dengan penjelasan argumen masing-masing, disertai penjelasan dalam hal pengamalannya, sebaiknya mengambil yang paling hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari perbedaan pendapat (al-khuruuj min al-khilaaf).
Terkait dengan penerapan maqashid syariah, dijelaskan pada Pasal 7 ayat 1 bahwa penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan otoritas pengaturan hukum oleh syari’at, serta mempertimbangkan kemaslahatan umum dan maqashid al-syariah.
Format Fatwa
Sementara itu, terkait format fatwa MUI dirumuskan dalam Bab 5. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa fatwa dirumuskan dengan bahasa hukum yang mudah dan dipahami oleh masyarakat luas. Dalam Pasal 13, fatwa ditetapkan dengan format sebagai berikut:
1) Nomor dan Tema Fatwa
2) Kalimat Basmalah
3) Konsideran yang terdiri atas:
a. Menimbang yang memuat latar belakang dan alasan serta urgensi penetapan fatwa
b. Mengingat yang memuat dasar-dasar hukum (adillah al-ahkam) yang berbentuk nash syar’i, terjemah dalam bahasa Indonesia dan penjelasan terkait pemanfaatan dalil sebagai argumen (wajhu al-dilalah)
c. Memperhatikan; memuat pendapat para ulama, peserta rapat, para ahli dan hal-hal lain yang mendukung penetapan fatwa
4) Diktum yang memuat:
a. Ketentuan Umum; yang berisi tentang definisi dan batasan pengertian masalah yang terkait dengan fatwa, jika dipandang perlu
b. Ketentuan Hukum; yang berisi tentang substansi hukum yang difatwakan
c. Rekomendasi dan atau solusi masalah jika dipandang perlu
Khittah MUI
Khittah MUI sebagai pemberi fatwa dan sebagai pembaru cukup tergambar dalam setiap rilis fatwanya. MUI juga dalam fatwanya pasti memprioritaskan kemaslahatan umat, tidak hanya mengandalkan mana dalil syariat mana yang lebih kuat. Jika syariat dan maslahat dapat dicapai sekaligus, MUI tidak akan ragu mengambil jalan tersebut.
Namun, meski fatwa lahir dari para alim ulama se-Indonesia, kesimpulan fatwa tidak serta merta menjadi hukum positif di Indonesia. Isi dari fatwa tidak lebih sebagai anjuran positif kepada umat dan pemerintah, mengingat sifat dari fatwa itu sendiri tidak mengikat.
Kendati demikian, fatwa MUI sangat layak dijadikan pedoman, panduan praktis bagi masyarakat yang merindukan kesehariannya berada dalam naungan syariat Islam. (Lihat selengkapnya dalam jurnal Al-Fakhri Zakirman, Metodologi Fatwa Majelis Ulama Indonesia).
(Ilham Fikri, Saddam Al-Ghifari/Angga)