JAKARTA — Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi potensi perbedaan perayaan Hari Raya Idul Adha 1443 H. MUI menghimbau kepada umat Islam untuk menunggu hasil sidang isbat oleh Kementrian Agama yang akan melibatkan seluruh Ormas-ormas Islam dan MUI.
Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi, KH Abdullah Jaidi mengatakan, bahwa potensi terjadinya perbedaan perayaan Hari Raya Idul Adha 1443 H disebabkan oleh penentuan 1 Dzulhijjah yang bisa saja terjadi pada tanggal 30 Juni atau 1 Juli 2022.
Hal tersebut, menurut Kiai Jaidi, juga akan mempengaruhi 10 Dzulhijjah untuk merayakan Idul Adha 1443 H antara tanggal 9 Juli atau 10 Juli 2022. Kiai Jaidi menjelaskan, proses penentuan hilal menganut wujudul hilal dan atau rukhiyatul hilal.
‘’Ketinggian derajat hilal sepakat ahli hisab kurang lebih dua derajat. Menurut perhitungan MABIMS itu masih di bawah 3 derajat kemungkinannya bisa dilihat, tapi walaupun demikian, keharusan untuk melihat rukhiyatul hilal,’’ kata kiai Abdullah Jaidi saat dihubungi MUIDigital, Senin (6/6/2022).
Kiai Jaidi menambahkan, penentuan yang dilakukan pada 29 Juni tersebut akan menentukan apakah besoknya sudah 1 Dzulhijjah atau belum. Kiai Jaidi mengatakan, penghitungannya sama, hanya saja ada dua paham yaitu Wujudul Hilal dan Rukhyah.
Kiai Jaidi menjelaskan, Wujudul Hilal biasanya digunakan oleh Muhammadiyah. Apabila sudah melihat 0 plus itu sudah wujud. Artinya, esok hari sudah awal bulan. Sedangkan Rukhyah, kata kiai Jaidi, masih 0 sekian atau 1 derajat sekian itu hilal sangat tipis dan tidak mungkin bisa dilihat sehingga dikenakan istibal 30 hari.
‘’Sehingga tanggal 1 Dzulhijjah itu jatuh pada tanggal 1 Juli 2022. Nah dalam hal ini bagaimanapun juga harus dilihat rukhyatul hilal, sukur-sukur pada malam 30 Dzulqoidah bisa terlihat hilal ketinggian 2 derajat sekian, kalau ternyata ada yang melihat hilal maka esok harinya tanggal 30 Juni itu sudah menjadi 1 Dzulhijjah,’’ tambahnya.
Kiai Jaidi menambahkan, apabila sudah ada yang melihat hilal dan 1 Dzulhijjah jatuh pada tanggal 30 Juni 2022, maka dipastikan perayaan Idul Adha 1443 H akan dilaksakan secara bersama.
‘’Tetapi ternyata tidak keliatan rukhiyatul hilal, maka dikenakan Dzulkijjah 30 hari. Sehingga, pengumuman pemerintah akan mengatakan bahwa Idul Adha akan jatuh pada tanggal 10 Juli sesuai dengan kalender,’’ ungkapnya.
Semangat Persatuan Harus DIjaga
Meski ada potensi perbedaan, Kiai Jaidi menghimbau untuk tetap menjaga semangat persatuan dan kebersamaan. Kiai Jaidi menuturkan, Hari Raya Idul Adha merupakan Hari Raya Quban yang waktunya sampai ahya muntasrik.
‘’Jadinya masih ada waktu yang luang beberapa hari untuk melaksanakan Idul Adha bersama-sama,’’ tegasnya.
Selain itu, kiai Jaidi juga menghimbau untuk menghormati umat Islam yang sudah mendahului untuk merayakan Idul Adha. Juga sebaliknya, umat Islam yang sudah merayakan hendaknya untuk menghormati mereka yang sedang berpuasa Arafah karena masih menganggap tanggal 9 Dzulhijjah.
‘’Jadi artinya 9 Dzulhijjah itu hari Arafah (atau) hari tasuha di tanggal 9 Dzulhijjah. Bagi kita yang di luar menunaikan ibadah haji di sunnah kan untuk berpuasa 9 Dzulhijjah walaupun saudara kita sudah berlebaran haji,’’ kata dia.
Pada saat tersebut, kiai Jaidi sangat menekankan untuk saling menghormati, juga semangat untuk berqurban, semangat setia kawan, semangat untuk saling menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim.
Menurutnya, hal ini menjadi point yang paling penting dalam perayaan Idul Adha. Terlebih, persatuan dan kesatuan umat sangat dibutuhkan untuk menghadapi situasi akhir-akhir ini dalam situasi politik yang beraneka ragam, situasi hoax atau mendeskriditkan umat Islam.
‘’Jadi harus menyatukan barisan kita, menyatukan semangat untuk kepentingan agama dan negara. Itu semangatnya yang tidak boleh kendor,’’ pungkasnya. (Saddam Al Ghifari/Fakhruddin)