JAKARTA — Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan, posisi Fatwa MUI ialah sebagai khadimul ummah (menjaga umat) dan shodikul hukumah (mitra pemerintah). Harapannya dengan fatwa yang dikeluarkan MUI dapat memberikan setiap porsi kemaslahatan untuk memberikan guidance atau panduan bagi umat.
“Bahwa setiap porsi yang diambil oleh ulil amri diambil didasarkan kepada maslahah. Sementara aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip keagamaan kita,” ujarnya dalam Multaqa Duat Nasional, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Ahad (23/1).
Kiai Niam menambahkan, MUI mempertemukan berbagai ormas keagamaan Islam di dalam satu forum. Menurutnya, apabila tidak ada satu forum untuk memusyawarahkan berbagai masalah umat bisa jadi yang muncul diibaratkan ’katak di dalam tempurung.
“Proses kaderisasinya di masing-masing organisasi masyarakat Islam. Kemudian gak mau tau dengan yang lain akhirnya menjadi menjaga jarak. Majelis ulama Indonesia mendudukan perannya sebagai melting pot fungsi ketauhidan,” tambahnya.
Tidak hanya itu, Kiai Niam yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah ini menuturkan, fungsi MUI dalam himmayah atau perlindungan mencakup himayatuddin (menjaga agama), himmayatul ummah (menjaga umat), dan himmayatud daulah (berperan aktif menjaga negara).
Kiai Niam mengungkapkan mengenai relevansi fatwa-fatwa himmayatul ummah untuk memberikan perlindungan kepada umat dari aqaid al bathilah Iakidah yang rusak).
“Atas dasar fungsi dari MUI memberikan himmayatul ummah, terbitlah fatwa-fatwa terkait dengan aliran keagamaan yang menyimpang, kemudian kriteria aliran sesat, kriteria pengkafiran, kriteria penodaan agama,” paparnya.
Dalam hal ini, kata kiai Niam, ada orang yang bertanya mengenai persoalan akidah yang menjadi lingkup fatwa. Padahal sudah dijelaskan bahwa fatwa itu berkaitan dengan hukum-hukum berkaitan dengan amal perbuatan (tabyinu dalilin liman saala anhu) yang terkait dengan al ahkam al amaliaah).
“Sementara akidah urusan i’tiqod (kepercayaan seorang Muslim terhadap Allah SWT terhadap sifat-fatnya). Kok difatwakan, kalau dia masih berupa keyakinan itu bukan lingkup fatwa,” ungkap kiai Niam.
Menanggapi hal tersebut, kiai Niam menjelaskan, keyakinan yang menjelma menjadi ajaran kemudian didakwahkan untuk mengajak, merekrut dan menyampaikan fikirannya dalam manives aktivitas sosial maka hal itu menjadi ruang lingkup fatwa.
“Jadi kalau ada pertanyaan bagaimana sih MUI kayak tidak ngerti hukum saja, masa akidah di masukan ke lingkup fatwa? Jawabnya gitu. Ada fatwa-fatwa dan diatas fatwa ini kemudian bukan hanya dijadikan panduan bagi umat dan masyarakat tetapi menjadi panduan bagi penegak hukum, di dalam penagakan hukum dalam kerangka mencegah terjadinya penodaan agama,” terangnya.
Kiai Niam memberikan contoh mengenai kasus hukum yang menjerat M Kecce yang dalam proses peradilan di Bandung saksi ahli dan saksi faktanya berasal dari MUI. ‘’Saksi faktanya kiai Cho
lil mungkin sudah cerita, saksi ahlinya dari komisi fatwa MUI,’’sambungnya.
Demikian yang berada di daerah, ia mengungkapkan bahwa hal tersebut bukan hanya inisiasi dari MUI, tetapi inisiasi direkognisi oleh aturan yang salah satunya disebut Bakorpakem yaitu Badan Kordinasi Penanggulangan Keyakinan Masyarakat yang termasuk di dalamnya terdapat kejaksaan.
“Kemudian anil afkar al-fasidah, mama ada fatwa terkait dengan Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme agama) itu ada untuk memberikan himayah anil afkar al-fasidah, yang berikutnya annil aqla sayyiah yang nanti operasionalnya dari komisi dakwah tapi fatwa-fatwa keagamaanya ada di komisi fatwa,”
tutupnya. (Sadam Al Ghifary/Angga)