JAKARTA–Ketua MUI Bidang Halal dan Ekonomi Syariah, KH. Sholahudin Ayyub dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hukum dan HAM, Prof KH Noor Achmad, menyampaikan pandangannya terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berisi larangan minuman alkohol.
“Undang-undang ini setau saya adalah inisiatif DPR, waktu itu yang mengusulkan adalah teman-teman dari PPP yang berjudul RUU larangan minuman beralkohol,” ungkap kiai Noor dalam webinar Indonesia Darurat Minuman Beralkohol: Urgensi RUU Larangan Minol yang ditayangkan di kanal YouTube TVMUI pada Kamis, (12/8).
Kyai Noor lebih jauh membahas tentang keterkaitan larangan minuman beralkohol dengan RUU KUHP.
“Ada beberapa pasal yang menunggu solusinya di KUHP. Namun demikian, pada saat itu juga dipandang RUU ini adalah Lex Spesialis, hingga kalau tidak menunggu KUHP tidak apa-apa, cukup dengan apa yang memang menjadi kebutuhan yang besar bagi masyarakat Indonesia ataupun bangsa Indonesia terkait dengan persoalan minuman beralkohol,” ujar kiai Noor.
Wasekjen MUI Bidang Fatwa, Sholahudin Al Ayub menyampaikan jika dasar pertama pelarangan minuman beralkohol adalah bahwa minuman beralkohol terkait dengan medis dan kriminalitas.
“Yang kedua, kita tidak menutup mata, manfaat dari minuman beralkohol ini, ada aspek ekonomi nya, aspek budayanya, dsb,” ujar Wasekjen MUI ini.
Namun, MUI meyakini bahwa dampak buruk yang ditimbulkan oleh minuman keras ini jauh lebih besar daripada manfaat yang didapat. Selanjutnya Wasekjen MUI Bidang fatwa ini membahas minuman keras sudah menjadi normal di masyarakat kita, dalam agama apapun. Dia menyebutkan ada hukum sosial tentang molimo (Moh Limo; Madat, Madon, Minum, Main , dan Maling), diantara molimo itu adalah minuman keras.
“Ketika kita berbicara tentang molimo ini kita tidak berbicara tentang masalah agama, tapi sudah menjadi budaya, menjadi norma masyarakat kita. Di undang-undang itu untuk mengakomodir norma yang sudah berkembang di masyarakat,” ujar Kiai Ayub.
Kiai Ayub juga membahas jika sesuai dengan fatwa MUI yang terakhir, pada tahun 2018 lalu terkait alkohol, MUI memberikan batasan yang namanya minuman beralkohol, yang termasuk kategori khamr itu yang batas minimal nya itu 0,5. Artinya jika dibawah 0,5 itu tidak dikategorikan sebagai minuman keras atau khamr.
Kiai Noor juga menjelaskan persoalan tentang larangan minuman beralkohol sudah menjadi ekstra ordinary, sehingga ini juga menjadi bagian apa yang akan MUI sampaikan ke DPR.
“Tentang bagaimana kita menyiasati terkait dengan judul atau terkait dengan apakah ini menjadi persoalan yang Lex spesialis, sehingga tidak harus menunggu RUU KUHP atau tidak, karena kalau RUU ini kita bahas dari awal, nampaknya tidak mempunyai arti apa-apa di DPR,” ujar Kyai Noor.
Namun demikian, Kyai Noor menyebutkan jika MUI punya satu keyakinan bahwa apa yang akan dibicarakan kali ini akan sangat mempunyai nilai-nilai yang khusus, nilai-nilai yang spesifik. Berdasarkan pada pemikiran pemikiran umat Islam.
Suara ini akan menjadi suara MUI, suara yang di back up oleh seluruh ormas-ormas yang ada, persoalannya sangat banyak dan kompleks, tapi RUU ini akan sangat penting sekali.
Harapan saya, harapan dari MUI bahwa ini akan menjadi suara atau pendapat dari MUI, dan tidak ada perbedaan pendapat antar kita sendiri.
“Kita setuju dengan judul larangan minuman beralkohol karena kembali lagi ke hukum asalnya, dalam perspektif Islam, yaitu hukum asal dari minuman keras, minuman beralkohol ini adalah haram,” ujar Kiai Ayyub.
(Muhamad Saepudin/Syukri)