JAKARTA —Komisi Fatwa MUI Pusat pada Selasa (16/03) kemarin selain menetapkan Fatwa Nomor 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi pada saat Berpuasa, juga menetapkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produksi Astra Zeneca.
Setelah melakukan kajian mendalam dan pertimbangan ahli terpercaya, sidang fatwa siang itu memutuskan bahwa vaksin produksi Astra Zeneca ini hukumnya haram tetapi mubah digunakan. Vaksin ini haram karena dalam proses pembuatan inang (rumah) virusnya, produsen menggunakan tripsin dari pankreas babi. Tripsin ini bukan bahan baku utama virus, melainkan sebuah bahan yang digunakan untuk memisahkan sel inang virus dengan Micro carier virus. Vaksin Covid-19 Produksi Astra Zeneca ini menjadi mubah karena darurat.
Ketua MUI Bidang Fatwa KH. Asrorun Niam Sholeh menyampaikan, ada lima hal yang membuat vaksin Covid-19 produksi Astra Zeneca mubah digunakan.
Pertama, dari sisi agama Islam, ada hal mendesak yang membuat ini masuk dalam kondisi darurat. Sumber-sumber hukum dari Al-Quran, Hadist, Kitab Ulama, maupun kaidah fiqih membolehkan penggunaan (mubah) sebuah obat meskipun itu haram dalam kondisi darurat.
“Ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syar’iyah) yang menduduki kondisi darurat syar’iyah,” ujarnya, Jumat (19/03) di Jakarta.
Kedua, kondisi darurat itu, selain ada landasan agamanya, juga diperkuat dengan fakta-fakta di lapangan. Beberapa ahli kompeten yang dihadirkan dalam sidang fatwa MUI, menyebutkan bahwa akan ada risiko fatal jika vaksinasi Covid-19 ini tidak berjalan. Tujuan vaksinasi adalah melahirkan kekebalan komunal (herd immunity) sehingga virus tidak berkembang lagi di lingkungan. Itu terjadi bila 70% penduduk sudah tervaksinasi. Jika kurang dari 70%, entah karena ketidakmauan atau kekurangan tersediaan vaksin, maka vaksinasi akan percuma dan kondisi yang lebih berbahaya akan terjadi.
“Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19,” ungkapnya.
Ketiga, memang paling utama menggunakan vaksin yang sudah terjamin halal dan suci seperti vaksin Covid-19 produksi Sinovac. Namun Indonesia hanya memperoleh jatah sekitar 140 juta vaksin dan yang bisa digunakan hanya 122,5 juta dosis. Jumlah itu tentu saja tidak cukup untuk memenuhi syarat herd immunity karena hanya bisa digunakan untuk 28% penduduk. Untuk menambah pasokan, maka perlu ada vaksin yang diproduksi produsen lain seperti Astra Zeneca ini.
“Ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok,” ujarnya.
Keempat, persaingan mendapatkan vaksin di seluruh dunia begitu ketat. Seluruh negara berlomba-lomba mendapatkan quota vaksin lebih untuk warganya. Indonesia sendiri, setelah melakukan lobi, baru memperoleh dari Sinovac dan Astra Zeneca. Itupun termasuk istimewa untuk negara di dunia yang saat ini sedang berebut jatah vakin. Karena itu, pemerintah tidak memiliki wewenang untuk memilih vaksin mana yang diprioritaskan dipilih karena keterbatasan jumlah vaksin ini. Pzifer, Novavac, Sinopharm, dan Moderna memang sudah berkomitmen, namun belum menetapkan jatah vaksin untuk Indonesia.
“Pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19, mengingat keterbatan vaksin yang tersedia,” ujarnya.
Terakhir, yang terpenting, BPOM telah mengeluarkan izin edar darurat Vaksin Covid-19 produksi Astra Zeneca Sejak 22 Februari 2021. Ini menandakan bahwa vaksin ini sudah terjamin keamanan (safety), kualitas (quality), dan kemanjuran (efficacy).
“Ada jaminan keamanan pengunananya oleh pemerintah,” ungkap Kiai Niam. (Azhar/Din)
Lima Hal Ini Membuat Vaksin Produksi AstraZeneca Mubah Digunakan