JAKARTA— Dalam tradisi masyarakat kita, masih saja selalu ada nasihat bagi pengantin bahwa seorang suami memiliki hak lebih untuk mengingatkan pasangan dalam beribadah.
Tidak jarang, akibat pandangan lumrah tersebut, bila istri mengingatkan suami untuk sekadar shalat misalnya, suami marah dan menganggap istrinya sama sekali tidak memiliki ruang untuk memerintahnya, bahkan dalam hal ibadah kepada Allah SWT.
Padahal, jika kita menelisik hadits Nabi Muhammad SAW, baik suami maupun istri, dalam urusan mengingatkan atau menyuruh beribadah, memiliki hak yang benar-benar sama, setara.
Hal ini tergambar dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah dari Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “رَحِمَ اللَّهُ رَجُرَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ”
“Allah memberi rahmat (senang) kepada seorang suami yang bangun malam kemudian shalat (tahajud ) dan membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan, dia mencipratkan air ke wajahnya. Begitu juga Allah senang kepada istri yang bangun malam kemudian shalat (tahajud ) dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan, dia mencipratkan air ke wajahnya.” (HR Abu Dawud no 1308)
Abu Hurairah yang mendengar hadits ini langsung dari Nabi Muhammad SAW mempraktikkan hadits ini sebagaimana yang diriwayatkan Abu ‘Utsman al-Hindi:
عَنْ أَبِي عُثْمَانَ قَالَ تَضَيَّفْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ سَبْعًا فَكَانَ هُوَ وَامْرَأَتُهُ وَخَادِمُهُ يَعْتَقِبُونَ اللَّيْلَ أَثْلَاثًا يُصَلِّي هَذَا ثُمَّ يُوقِظُ هَذَا
“Abu ‘Utsman al-Hindi bercerita Ketika bertamu ke rumah Abu Hurairah selama tujuh hari. Dia bersama istri dan pembantunya membagi malam menjadi tiga bagian untuk shalat malam. Salah satu dari mereka shalat di sepertiga awal, kemudian membangunkan yang kedua untuk shalat di sepertiga kedua, dan seterusnya sampai sepertiga akhir.” (HR. al-Bukhari no. 5125)
Syekh Muhammad Syamsul Haq Abadi (w. 1329 H.) dalam karyanya ‘Aunul Ma’bud ‘ala Sunan Abi Dawud berkomentar atas hadits tersebut.
Menurutnya, mencipratkan air ke muka harus dilandasi motif kasih sayang, bukan dari rasa kesal. Kemudian dirinya mengutip pendapat Ibnu Malik yang berpendapat bahwa berdasarkan hadits tersebut, siapa pun (baik laki atau perempuan) dianjurkan untuk memaksa dalam kebaikan.
Hadits di atas juga menunjukkan gambaran ideal bagaimana suami istri saling menyayangi, berkomunikasi dengan baik, dan memiliki pandangan yang sama, bahwa baik suami atau istri memiliki hak yang sama ketika mengingatkan atau memaksa beribadah kepada Allah SWT.
Karenanya, suami hendaknya tidak merasa kesal bila istri menyuruhnya beribadah. Terutama bila istri misalnya memaksa suami agar segera shalat wajib.
Sementara itu, kepada MUIDigital, Selasa (16/5/2023), anggota Komisi Fatwa MUI, KH Dr Fatihunnada, menjelaskan shalat tahajud saja yang hukumnya sunnah, istri boleh mencipratkan air ke muka suami supaya sama-sama shalat tahajud.
“Terlebih bila shalat wajib, tentu istri dianjurkan memaksa suami supaya segera shalat, lebih-lebih bila waktu sudah menunjukkan berakhirnya waktu shalat,” kata dia.
Kiai Fatihunnada yang juga dosen Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, hal tersebut adalah bentuk kesetaraan pria dan wanita (suami dan istri) di dalam ajaran agama Islam yang memposisikan keduanya sebagai rekan untuk bekerja sama dalam mewujudkan rumah tangga yang baik. Wallahu A’lam. (Ilham Fikri, ed: Nashih).