Oleh: Yanuardi Syukur
Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI dan Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI
Pengurus Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia & Wakil Sekretaris Panitia Konferensi Internasional MUI tentang agama, perdamaian, dan peradaban
Di depan patung Knotted Gun yang ikonik di Markas PBB, New York, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengumpulkan para tokoh agama dan berbicara. “Perdamaian dibutuhkan saat ini lebih dari sebelumnya, karena karena perang dan konflik menyebabkankemiskinan dan kelaparan yang menghancurkan, memaksa puluhan juta orang meninggalkan rumah mereka.”
Kata Guterres lagi, saat ini, “Seluruh planet sedang berjuang melawan kekacauan iklim, dan bahkan negara-negara yang damai pun menghadapi ketidaksetaraan yang menganga dan polarisasi politik.” Dia kemudian mengajak, “Marilah kita berpegang teguh pada keyakinan bersama yang mempersatukan umat manusia, ” katanya. “Mari kita bersatu sebagai komunitas dan negara. Mari kita berdoa untuk perdamaian.” (UN News, 14 April 2023).
Pernyataan Guterres tersebut menjelaskan bahwa saat ini agama memainkan peran yang semakin signifikan untuk menyelesaikan problem global seperti perang, kemiskinan, perubahan iklim, dan sebagainya. ‘Doa untuk perdamaian’ tentu sudah dilakukan di sekian banyak pertemuan, namun yang lebih melangkah jauh adalah bagaimana doa-doa itu dilanjutkan dalam berbagai kerja nyata lintas-agama yang bersifat global, inovatif, dan berkesinambungan.
Singkatnya, agama memiliki peran sangat signifikan untuk menciptakan perdamaian global.
Pada Februari 2008, David Smock menulis special report untuk United States Institute of Peace (USIP) dengan judul “Religion in World Affairs.” Di report itu, Smock melihat bahwa agama bukanlah penyebab utama dari konflik, atau, dia ingin menyebut bahwa penyebab konflik itu sangat beragam. Maka pandangan bahwa ‘agama sebagai sumber konflik’ seharusnya dapat diganti dengan ‘agama sebagai kekuatan perdamaian’, namun disadari peran perdamaian berbasis agama kurang diperhatikan.
Laporan 15 tahun lalu itu, memiliki relevansi dengan kita pada 2023 ini bahwa agama haruslah menjadi penengah atau mediator bagi terciptanya perdamaian dunia. Smock menulis, “Pemimpin dan lembaga agama dapat menengahi situasi konflik, berfungsi sebagai penghubung komunikasi antara pihak yang berseberangan, dan memberikan pelatihan dalam metodologi perdamaian.” Artinya, report Smock dan pernyataan Guterres di atas memiliki satu hal yang sama: agama semakin signifikan menciptakan perdamaian.
Majelis Ulama Indonesia secara kontinu telah melakukan berbagai inisiatif perdamaian dalam berbagai bentuknya. Berbagai komisi, badan, dan lembaga di lingkungan MUI memainkan langkah-langkah strategis untuk menciptakan perdamaian dunia, dalam berbagai ranah kerjanya masing-masing. Di sini, MUI telah menyakini dan mempraktikkan sejak lama bahwa agama adalah solusi bagi perdamaian, bahkan bukan hanya itu, tapi juga solusi bagi kesejahteraan dengan diadopsinya berbagai produk MUI pada berbagai kebijakan negara yang berdampak positif bagi masyarakat.
Soal peran agama bagi perdamaian, 2-3 November 2022 lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menggelar KTT Forum Keagamaan pertama dalam rangkaian G20. Forum tersebut strategis sebab mempertemuan tokoh agama global dari ratusan peserta, bersilaturahmi, dan mencari solusi bagi berbagai problem global seperti ekstremisme agama, dan singkatnya mempromosikan agama sebagai sumber solusi global masalah ekonomi dan politik.
Wapres RI, Prof KH Ma’ruf Amin berfokus pada pentingnya mengelola moderasi agama sebagai solusi perdamaian global. Beliau misalnya mengatakan, “Di tengah lingkungan strategis global dan regional yang berubah dengan cepat, tantangan dan krisis dunia menuntut banyak negara untuk berkolaborasi dan bekerja sama. Terutama dalam hal menjaga perdamaian dunia, upaya moderasi dan toleransi beragama perlu ditekankan pada semua lapisan masyarakat.”
“Solusi mengelola moderasi dalam beragama merupakan instrumen penting dalam mencegah konflik, membangun konsensus, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta tatanan dunia yang damai,” ujar Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin saat memberikan keynote speech secara virtual di Majelis Forum Perdamaian Abu Dhabi ke-9 (8 November 2022). Beliau kemudian mengimbau masyarakat internasional untuk terus mendorong diplomasi Islam Wasathiyyah, Islam yang rahmatan lil alamin bagi masyarakat internasional.
Indonesia memiliki komitmen tinggi untuk memajukan poros dunia Islam wasathiyah, sebuah posisi umat Islam untuk menegakkan etika global, saling memahami, menghormati, dan saling bergantung. “Dunia Islam harus bangkit untuk membangun peradaban dunia yang harmonis,” kata Kiai Ma’ruf. Hal itu membutuhkan kerja sama, dukungan, dan kemitraan strategis dari seluruh komunitas global.
Terkait wasathiyah, Komisi Dakwah MUI (2019) menjelaskan bahwa dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari para ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany, Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Mengutip Komisi Dakwah, menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) //dan ekstrem (tafrith).
Sikap wasathiyah atau moderat itu patut untuk menjadi pijakan kita semua dalam menciptakan perdamaian dunia. Merujuk pada pendapat Sekjen PBB di atas, report David Smock, KTT Forum Keagamaan ‘R20’, dan pentingnya Islam Wasathiyah yang diterangkan Wapres Kiai Ma’ruf Amin, maka sudah saatnya semua tokoh agama berjuang untuk menciptakan dunia yang damai untuk semua manusia.
Inisiatif Majelis Ulama Indonesia menggelar Konferensi Internasional tentang “agama, perdamaian, dan peradaban” di Hotel Sultan, Jakarta (21-23 Mei 2023) bekerjasama dengan Rabithah Alam Islami adalah strategis untuk menguatkan jejaring tokoh lintas agama global, akademisi, serta aktivis dan pemangku kepentingan untuk menyatukan perspektif dan gerak menciptakan perdamaian dunia.