■ Oleh : Prof. Dr. H. Mustari Mustafa, M.Pd, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI Sulsel
OPINI, muisulsel.com — Hari ini tanggal 31 Desember adalah penghujung akhir tahun 2021, dan insha Allah besok kita akan memasuki pergantian tahun menuju awal tahun 2022.
Momentum pergantian tahun ini seyogianya disikapi secara wajar dan tepat. Kegembiraan dan suasana batin menyambut pergantian tahun semestinya diarahkan kepada rasa syukur terhadap masih tersisanya usia, bukan euforia keramaian atas pergantian tahun itu sendiri.
Sisa usia itu merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan, memperbaiki yang belum sempurna, dari perilaku hidup kita di dunia.
Pergantian tahun lebih tepat menjadi momen muhasabah (introspeksi) dan ishlah (perbaikan).
Kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha’illah as-Sakandari dalam al-Hikam nya patut menjadi renungan:
رُبَّ عُمُرٍ اتَّسَعَتْ آمادُهُ وَقَلَّتْ أمْدادُهُ، وَرُبَّ عُمُرٍ قَليلَةٌ آمادُهُ كَثيرَةٌ أمْدادُهُ.
“Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah.”
Pada sebuah kesempatan terjadi diskusi antara hujjatul Islam Imam Ghazali dengan murid-muridnya. Imam Ghazali memberikan beberapa pertanyaan kepada murid-murid beliau yang ke semua pertanyaan itu sarat dengan hikmah untuk kita renungkan dan kita aplikasikan.
Imam Ghazali bertanya,”Wahai muridku, apa yang paling dekat dengan kita di dunia ini?”
Murid-muridnya menjawab.” Orang tua, guru, kawan dan sahabat!”
Imam Ghazali mengatakan,”Benar semua, tapi yg paling benar tentang sesuatu yg paling dekat dengan kita di dunia ini adalah kematian”
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya” (Ali Imran 185).
Kematian adalah suatu rahasia yang tiada seorangpun tahu kapan dia datang kecuali Allah. Terkadang ia jauh terasa, padahal ia dekat dalam kenyataan. Kerahasiaannya harus kita maknai bahwa maut bisa datang kapan saja, dan di mana saja tanpa ada peringatan dari-Nya.
Inilah pesan yang ingin disampaikan Al-Ghazali kepada murid-muridnya. Lalu pertanyaan kedua,”Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini?”
Mereka menjawab,”Negara China, bulan, matahari dan bintang-bintang!”
“Semua benar,”Kata Al-Ghazali,”Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU. Sebab walau dengan cara apapun kita tidak akan bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu tentunya kita harus mengisi hari ini dan hari-hari esok dengan berbuat sebaik-baiknya.
Hal ini tepat dengan sebuah hadits Nabi SAW, yang artinya :
“Barang siapa yang perbuatannya hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia adalah orang yang beruntung. Dan barang siapa yang hari ini sama dengan dengan kemarin, maka ia adalah orang yang rugi dan barang siapa yang perilakunya hari ini lebih buruk dari kemarin, maka ia adalah orang yang celaka (HR. Al-Hakim)
Waktu tidak akan datang berulang untuk kedua kalinya,.Sekali kita melakukan kesalahan maka kita tidak akan bisa merevisinya lagi. Paling-paling kita hanya bisa mengharap pengampunan-Nya.
Mati dan waktu adalah dua rahasia yang ada dalam genggaman Allah. Kita sebagai hambaNya hanya bisa berharap agar kita diberi kemampuan memanfaatkan waktu guna mempersiapkan bekal menunggu kematian.
Imam Ghazali melanjutkan dengan pertanyaan ke-tiga,”Apa yang paling besar di dunia ini?”
Murid-muridnya menjawab,”Gunung, bumi dan matahari!” Semua benar kata Imam Ghazali, tetapi yang lebih tepat tentang sesuatu yang paling besar di dunia ini adalah NAFSU.
Nafsu adalah hal penentu dalam diri manusia. Ingin bahagia yang hakiki, kendalikan nafsu. Ingin celaka selamanya,..turuti hawa nafsu. Pengendalian nafsu adalah kunci dalam hidup ini. Itulah pesan yang tersembunyi dalam pertanyaan ketiga tadi.
Kemudian Al-Ghazali melanjutkan pertanyaan ke-empat,”Apa yang paling berat di dunia ini?”
“Besi dan gajah,”Jawab murid-muridnya.
“Bisa jadi itu benar, tetapi sesuatu yang paling berat di dunia ini adalah MEMEGANG AMANAH. Inilah kontrak politik manusia yang terbaca jelas namun terabaikan dalam praktek.
Akibat kesombongan, kezaliman dan kebodohan manusia, yang kelak di kemudian hari banyak manusia yang Allah menyesal karena tidak mampu memikul amanah. Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia amat zalim dan bodoh” (QS. Al Ahzab 72).
Pertanyaan Imam Ghazali yang ke-lima,”Apa yang paling ringan di dunia ini ?”
“Kapas, angin, debu dan dedaunan,”Jawab murid-murid beliau.
Semua benar, tetapi yang paling tepat bahwa sesuatu yang paling ringan itu adalah meninggalkan sholat. Padahal sholat adalah hal pertama yang ditanyakan Allah kepada manusia. Dan sholat adalah hal terpenting di dunia ini, namun anehnya sholat adahal hal yang paling mudah dan paling ringan untuk ditinggalkan oleh sebagian kita.
Dan pertanyaan keenam,”Apa yang paling tajam di dunia ini?”
Serentak murid-murid Al-Ghazali menjawab,”Pedang!”
Benar,” Kata Al-Ghazali. Tetapi yang paling tajam adalah LISAN MANUSIA. Karena melalui lisan, manusia mampu menyakiti dan melukai perasaan saudaranya sendiri.
Mari kita ingat sebuah Hadist Nabi :
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه
“Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari & Muslim)
Dari uraian di atas maka hal yang penting menjadi perhatian, ialah kita jaga dan kendalikan HATI dan NAFSU kita. Hati adalah pusat kendali hidup kita. Hati adalah tempat (lokus) di mana perasaan, keinginan, emosi, dan nafsu kita berada, letaknya secara fisiologis ada di dalam dada.
Nafsu manusia terbagi menjadi tiga sebagaimana yang ditulis oleh Imam Ghazali. Pertama, An-nafs al-ammarah. Nafsu ini lebih tunduk serta taat kepada tuntutan syahwat dan dorongan-dorongan setan.
Nafsu ini mendorong kepada keburukan. Inilah NAFSU yang harus kita perangi, dan berperang dengan hawa nafsu ini memang ada perintahnya dalam agama, berdasarkan salah satu hadist Nabi yang relevan :
رَجَعْنَا مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَي اْلجِهَادِ اْلأَكْبَرِ. قَالُوا: وَمَا جِهَادُ اْلأَكْبَرِ؟ قَالَ: جِهَادُ اْلقَلْبِ أَوْ جِهَادُ النَّفْسِ.
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar. Mereka berkata: Apakah jihad besar itu? Nabi saw menjawab: Jihad hati atau jihad nafsu”. (HR. Baihaqi).
Kedua, An-nafs al-lawwamah. Nafsu yang belum tenang dan tidak sempurna, masih bisa menjadi pendorong kepada syahwat atau teledor dalam beribadah kepada Allah. Nafsu ini berpotensi menjadi sumber penyesatan karena kadang ia patuh mengikuti akal, tapi kadang hanya mengikuti emosi.
Sedangkan ketiga, An-nafs al-Muthmainah. Ini bentuk nafsu yang kita dambakan bersemayam di hati kita, dia menciptakan ketenangan, yaitu ketenangan di bawah perintah Allah dan jauh dari goncangan yang disebabkan oleh nafsu syahwat.
Kemenangan dari perang melawan hawa nafsu itu adalah kedamaian. Kedamaian dengan manusia dan alam. Damai dengan diri sendiri, damai dengan keluarga, damai dengan tetangga, damai dengan sesama umat Islam dan sesama makhluk, serta damai dengan alam atau lingkungan.
Mengoreksi dan memperbaiki hubungan kita dengan sesama manusia dan alam sangat penting, mari perbaiki hubungan bakti kita kepada orang tua, kita sambung ikatan silaturrahim yang terputus, kita bantu yang memerlukan, kita lestarikan alam, dan kita doakan kebaikan bagi semuanya.
Saling memaafkan, saling menguatkan dan hidup berjamaah di antara kaum Muslimin, bagai satu anggota badan yang saling melengkapi, bagai bangunan yang kokoh tak tergoyahkan. Allah menyebutnya dengan:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kalian berpecah-belah” (QS. Al-Baqarah 103).
Perhatian kita ke depan adalah menguatkan kehidupan kita berada di jalan yang benar. Banyak pelajaran tahun lalu yang kita temukan telah mencederai akhlak dan etika baik etika individu (karena merugikan diri sendiri) maupun etika social (karena merugikan orang lain), ini harus menjadi introspeksi diri untuk memperbaiki kesalahan dan memberi manfaat kepada orang lain. Sebaik-baik orang adalah yang memberi manfaat kepada orang lain. Allahu ‘Alam.(*)
*) Disarikan dari materi khutbah Jumat di Masjid Al Markaz Al Islami, Jumat (31/12/2021).
The post Berperang dengan Hawa Nafsumu dan Berdamai dengan Sesama appeared first on MUI SULSEL.