■ Oleh: Asnawin Aminuddin, Komisi Komunikasi dan Informasi MUI Sulsel
OPINI, muisulsel.com — Kita sekarang hidup di era teknologi informasi. Kita semua punya hape (handphone) atau ponsel (telepon genggam), bahkan tidak sedikit di antara kita yang memiliki dan selalu membawa lebih dari satu hape.
Bukan hanya kita yang sudah dewasa, anak-anak pun umumnya sudah kita bekali hape, karena proses belajar mengajar di sekolah kini sudah banyak menggunakan perangkat hape, apalagi selama masa pandemi Covid-19.
Melalui hape, kita dapat mencari, menemukan, mengolah, dan meneruskan informasi, bahkan tanpa dicari pun, kita selalu menerima informasi melalui jaringan media sosial yang ada di hape kita, seperti WhatsApp (WA), Facebook (FB), Instagram (IG), Twitter, dan beberapa media sosial lainnya.
Maka bersyukurlah kita yang mendapati era teknologi informasi, karena dapat dengan mudah mencari dan menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan melalui jaringan internet di hape.
Yang jadi masalah, tidak semua informasi yang kita terima itu memang benar sesuai fakta. Tidak semua informasi yang kita itu baik dan bermanfaat. Sebaliknya, boleh jadi, informasi yang kita itu sebagian atau seluruhnya merupakan hoax atau bohong.
Boleh jadi, informasi yang kita terima itu sama sekali tidak bermanfaat, bahkan kemungkinan akan mencelakakan diri kita atau mencelakakan orang lain apabila informasi itu diteruskan.
Mengapa? Karena tidak semua orang yang membuat dan menyebarkan informasi itu memang benar-benar berniat baik dan dengan tujuan untuk kebaikan.
Bisa saja orang yang membuat dan menyebarkan informasi itu adalah orang-orang fasik yang sengaja menyebar informasi bohong untuk mencelakakan orang lain, untuk menyesatkan pikiran orang lain.
Tentang hal ini, Allah SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat, surah ke-49, ayat 6, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Jika ada ulama yang ditangkap, dipenjara, diusir, atau lari dari negaranya, lalu kemudian diinformasikan bahwa ulama itu melawan pemerintah atau tidak mau bekerja sama dengan pemerintah, janganlah kita langsung mempercayai informasi tersebut, apalagi sampai turut menghakimi dan mengutuk ulama tersebut.
Imam Syafi’i dan Imam Bukhari
Imam Syafi’i misalnya. Salah satu imam mashab ini pernah dituduh sebagai pendukung Syiah oleh pendengkinya, yakni Mutharrif bin Mâzin. Mutharrif bin Mâzin memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafii dan orang-orang alawiyin.
Maka diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafii dan orang-orang alawiyin. Imam Syafii bersama orang alawiyin dirantai dengan besi dan dibawa dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid.
Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dari Yaman hingga Baghdad. Itu terjadi karena raja mempercayai laporan dan hasutan seorang fasik bernama Mutharrif bin Mâzin.
Contoh lain yaitu Imam Bukhari. Orang yang banyak meriwayatkan hadits ini terpaksa pergi dari negerinya karena “berusaha disingkirkan” oleh Penguasa Dhahiriyah di Bukhara saat itu, yakni Khalid bin Ahmad al-Dzuhali.
Penyebabnya, Imam Bukhari menolak permintaan Khalid untuk mengajar kitab “al-Jâmi`” dan “al-Târîkh” di rumah sang penguasa.
Bukhari beralasan, seharusnya yang butuh ilmulah yang mendatanginya, bukan ulama yang mendatangi orang yang butuh ilmu. Karena perbedaan pendapat itulah dan demi keselamatan dirinya, maka Imam Bukhari pergi meninggalkan negerinya.
Jalaluddin Rumi dan Guru Syams Tabrizi
Contoh lain yaitu kisah yang dialami Jalaluddin Rumi dan gurunya, Syams Tabrizi. Jalaluddin yang bernama asli Jalāl ad-Dīn Mohammad Rūmī yang hidup pada abad ke-13 (lahir 30 September 1207, dan wafat pada 17 Desember 1273), adalah seorang penyair sufi Persia, seorang teolog, dan seorang ulama.
Suatu hari, Jalaludin Rumi ketika masih muda, mengundang gurunya, Syams Tabrizi ke rumah. Sang guru pun memenuhi undangan tersebut dan mendatangi kediaman Rumi. Setelah makanan sudah siap, Syams Tabrizi lalu mengatakan sesuatu pada muridnya itu.
“Apakah kau bisa menyediakan arak untukku?” kata sang guru.
Rumi cukup kaget mendengarnya, “Memangnya Anda juga minum (arak)?”
“Iya”, jawab Syams.
Rumi masih terkejut, “Maaf, saya tidak mengetahuinya.”
“Sekarang kau sudah tahu. Maka sediakanlah,” kata Syams
Rumi pun masih bertanya, “Di waktu malam seperti ini, dari mana aku bisa mendapatkan arak?”
“Perintahkan saja salah satu pembantumu untuk membelinya,” sang guru menimpali.
Karena merasa wibawanya bisa jatuh, Rumi pun mengelak, “Bagaimana mungkin. Kalau itu saya lakukan, maka kehormatanku di hadapan para pembantuku akan hilang.”
“Kalau begitu, kau sendiri pergilah keluar untuk membeli minuman itu,” kata sang guru.
“Seluruh kota ini mengenalku. Bagaimana bisa aku keluar membeli minuman?” Rumi masih merasa ragu.
Sampai disini sang guru mulai tegas, “Kalau kau memang muridku, kau harus menyediakan apa yang aku inginkan. Tanpa minum, malam ini aku tidak akan makan, tidak akan berbincang, dan tidak bisa tidur.”
Karena kecintaannya kepada Syams gurunya, akhirnya Rumi memakai jubahnya, menyembunyikan botol di balik jubah tersebut. Ia pun lalu berjalan ke arah pemukiman kaum Nasrani.
Sebelum Rumi masuk ke pemukiman tersebut, tidak ada yang berpikir macam-macam terhadapnya. Namun begitu ia masuk ke pemukiman kaum Nasrani, beberapa orang yang melihat terkejut dan akhirnya menguntitnya dari belakang.
Mereka melihat Rumi masuk ke sebuah kedai arak. Ia terlihat mengisikan botol minuman kemudian ia sembunyikan lagi di balik jubah.
Setelah keluar dari kedai arak itu, ia diikuti terus oleh orang-orang yang jumlahnya semakin banyak. Hingga sampailah Rumi di depan masjid tempat dimana ia menjadi imam bagi masyarakat kota.
Tiba-tiba salah seorang yang mengikutinya berteriak sambil menyingkap jubah Rumi: “Ya ayyuhan naas, Syeikh Jalaluddin Rumi yang setiap hari jadi imam shalat kalian baru saja pergi ke perkampungan Nasrani dan membeli minuman.”
Orang-orang akhirnya melihat botol yang dipegang Rumi. “Orang yang mengaku ahli zuhud dan kalian menjadi pengikutnya ini membeli arak dan akan dibawa pulang, orang itu kembali menambah perkataannya.
Orang-orang kemudian silih berganti meludahi muka Rumi dan memukulinya hingga sorban yang ada di kepalanya lengser ke leher.
Melihat Jalaluddin Rumi yang hanya diam saja tanpa melakukan pembelaan, orang-orang semakin yakin bahwa selama ini mereka ditipu oleh kebohongan Rumi dan ajarannya. Mereka benar-benar tanpa belas kasihan terus menghajar Rumi, bahkan ada yang berniat membunuhnya.
Kemudian Syams Tabrizi tiba-tiba datang ke kerumunan itu sambil berkata, “Hai orang-orang yang tak tahu malu. Kalian telah memfitnah seorang alim dengan tuduhan minum arak. Ketahuilah bahwa botol itu hanya berisi cuka untuk memasak.”
Namun beberapa di antara orang-orang itu tetap mengelak. Akhirnya Syams mengambil botol tersebut dan membuka tutupnya. Dia menuangkan isi dari botol itu di tangan orang-orang. Ternyata botol itu memang benar berisi cuka.
Akhirnya mereka sangat menyesal dan mulai memukuli kepala mereka sendiri. Orang-orang bersimpuh di kaki Rumi. Mereka menangis dan saling berdesakan untuk meminta maaf kepada alim tersebut dan menciumi tangan sang sufi. Kemudian mereka pun pergi satu per satu.
“Ya Syaikh malam ini engkau telah menyebabkan aku terjerumus dalam permasalahan yang besar. Kehormatan dan nama baikku menjadi ternoda. Mengapa kau melakukan semua ini?” tanya Rumi pada gurunya.
“Supaya kau paham bahwa wibawa itu hanyalah khayalan semata. Selama ini mungkin kau berpikir kalau penghormatan dari orang-orang seperti mereka adalah sesuatu yang abadi. Sekarang bisa kau lihat sendiri bukan?” kata sang guru.
Tabrizi kembali melanjutkan, “Padahal, hanya karena dugaan satu botol minuman saja, semua penghormatan itu sirna dan mereka jadi meludahimu, memukuli kepalamu, dan hampir saja membunuhmu. Inilah kebanggaan yang selama ini kau perjuangkan dan akhirnya lenyap dalam sesaat. Bersandarlah pada yang tidak tergoyahkan oleh waktu dan tidak terpatahkan oleh perubahan zaman.”
Telitilah Kebenaran Setiap Informasi
Dari tiga kisah ini, kiranya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa tidak semua informasi yang kita terima itu benar, tidak semua baik, dan tidak semua bermanfaat.
Maka sesuai peringatan Allah SWT dalam Surah Al-Hujurat, surah ke-49, ayat 6, telitilah setiap informasi yang datang atau kita terima. Jika tidak yakin akan kebenaran dan manfaatnya, maka janganlah diteruskan informasi tersebut.
Karena boleh jadi, informasi yang kita percayai dan kita teruskan itu akan mencelakakan diri kita, mencelakakan orang lain, bahkan boleh jadi akan mencelakakan suatu kaum, akibat kebodohan atau kecerobohan kita, yang akhirnya kita menyesalinya di kemudian hari.■