Makassar, muisulsel.or.id – Tak dipungkiri oleh kalangan para ulama bahwa Islam sebagai sumber hukum dan tatanan telah sempurna syariatnya saat Rasul Saw belum wafat, maka kesempurnaan hukum Islam ini berlaku hingga akhir zaman. Hal itu menjamin kedamaian dan ketentraman umat manusia sepanjang masa.
Kesempurnaan tatanan Islam ini bukan berarti menutup lahirnya hukum-hukum baru dan ijtihad baru yang dibutuhkan insan muslim dalam mensikapi problematika yang rincian hukumnya belum terurai secara juz’iy/parsial atau secara far’iy/bagian kecil.
Sejak zaman Khulafaz Rasyidin telah ada mengemuka beberapa hal yang membutuhkan rincian hukum juz’i dan Far’iy diantaranya adalah Al-Quran itu sendiri butuh disosialisasikan.
Cara menjaga Al-Qur’an dirumuskan oleh para sahabat nabi sesuai dengan kecenderungan masyarakat sahabat yang telah berubah mahir membaca dan menulis.
Demi keberlangsungan dan kemudahan mereka melestarikan Al-Qur’an, maka lalu kemudian dicetak Al-Qur’an dengan sesuai kebutuhan zaman saat itu, demikian hadis nabi perlu dikumpulkan dipilah pilah riwayatnya dan ditentukan absah tidaknya berita tentang hadis, dari sisi kandungannya perlu diadakan pendekatan kemurnian melalui ijtihad dalam Fiqhi dan akidah atau ilmu Islam lainnya.
Ijtihad ini menjadi urgen bagi umat dan terus bersinergi dengan hal hal baru seiring problematika yang mengemuka, setiap ijtihad itu pasti bersandar pada dalil umum dan khusus dari Al-Qur’an dan hadis yang tidak boleh melewati pemahaman shahabat dan tabiin dalam hal pesan nilai hukum syariah dan akidah yang juga dikenal dengan istilah ijma/kensensus fuqaha, setelah itu setiap persoalan didekati dari disiplin Ilmu ilmu Islam sebagai pintu ijtihad sesuai (fighuzzaman) pemahaman fiqh saat itu yang muncul, para ulama memandang:
القرٱن والحديث حصن االإسلام وسوره الإجماع وبابه من حيث الثبوت ٱصول الحديث ومن حيث الواحبات والمحظورات أصول استنباط أحكام الفقه
Al-Qur’an dan hadis itu adalah Benteng Islam, pagar batasnya yang mengelilingi adalah hukum Ijma sahabat/konsensus fuqaha, diantara pintu pintu masuknya adalah ushul fiqhi untuk jaga kemurniaan dan keasliannya dan pintu ushul hadis/riwayat untuk eksistensi absah atau tidaknya informasi hadis, dan itulah pintu pintu kebenaran Islam.
Setelah Al-Qur’an, hadis dan Ijma maka hukum Islam diberlakukan pada hal hal yang baru dan dinamis adalah dengan Ijtihad para fuqaha, dan tidak dipungkiri oleh para ulama dan fuqaha bahwa ijtihad di setiap zaman sejak 14 abad lamanya selalu ada terinovasi.
Demi jaga fleksibilitas kandungan Al-Quran dan hadis serta ijma, dan demi jaga cara mencocokkan hukum syariat yang terbawa oleh sumber2 otentik yang tiga tersebut dengan problematika umat, yaitu dengan cara menyesuaikan selalu dengan petunjuk umum Al-Quran dan sunnah dan ijma itu.
Secara teoritis Ijtihad itu selalu dibutuhkan dan selalu terbuka ruangnya sampai hari qiamat karena ijtihad inilah yang memberikan solusi hukum agama yang mudah dan tepat, naskah naskah otentik berbicara dan mengungkap kandungannya secara tersurat, maka ijtihadlah yang mengurai nilai nilai dan hukum hukum tersirat sehingga ijtihad menjadi urgen setiap waktu
Saat diperlukan untuk menjawab tantangan Syariat Islam hingga hari kiamat, tentu dilakukan oleh Fuqaha yang mumpuni, dengan Ijtihad maka Islam akan tetap utuh dan terjaga secara dinamis, serta penuh solusi tetap bagi umat muslim khususnya dan umat manusia umumnya.
Para Fuqaha dan ulama umumnya sepakat memastikan urgensi dan perlunya serta pentingnya ijtihad bagi mereka yang berkelas ketaqwaannya juga keilmuannya, berikut:
1. Imam Gazali rahimahullah dalam kitabnya almustashfa berkata : ” Jika para mujtahid itu telah rampungkan ijtihad mereka, dan telah keluarkan suatu hukum sesuai ijtihad mereka, maka para mujtahid itu harus menjalankan prinsip pelaksanaannya dalam diri mereka dan tidak diperkenankan tetapkan hukum lalu melaksanakan kebalikan hukum itu, atau tidak dibenarkan menjalankan pendapat lain”. lihat al-mustashfa jus 2 hlm 384.
2. Imam Syatibi berkata :” Ijtihad yang diberlakukan itu adalah ijtihad yang dilakukan oleh para ahlinya dalam hal ini ada dua kategori; pertama ijtihad secara hukum syariah yang absah diberlakukan, yaitu dikeluarkan para ahli ijtihad yang memahami dan mumpuni melakukan cara cara ijtihad. kategori kedua adalah Ijtihad bebas, yaitu yang dihasilkan orang orang tidak faham pada syarat syarat ijtihad, yang kedua ini hanya berupa pendapat yang sumbernya keinginan berucap belaka, atau tendensius, atau kepentingan tertentu atau hawa nafsu diperturutkan, kategori ini tidak boleh dipanuti umat karena bertentangan dengan prinsip kebenaran ijtihad. lihat kitab al-Muwafaqaat . syatibi jus 4, halm. 99.
3. Ibnu Taimiyah berkata: ” Pendapat ahlus sunnah waljamaah adalah tidak berdosa sedikitpun bagi fuqaha yang berijtihad lalu ia salah berijtihad”. lihat Fatawah Ibnu Taimiyah hlm 39.
4. Mustafa Said al-Khin berkata : “Adapun sumber2 hukum syariat yang ketiga adalah fatwa fatwa shahabat nabi, adapun status fatwa fatwa itu sifatnya individu kalau benar maka itu dari Allah, kalau salah adalah kesalahan individu, tiada yang saling mewajibkan pada ketatapan individu itu, bahkan ada diantara mereka menolak fatwa individu dari pihak yang lain, bukti bukti banyaknya pendapat shahabat nabi saling berbeda adalah banyak, hal itu menunjukkan betapa mereka itu memiliki kebebasan mengkaji dan mencari maslahat demi mencegah kerusakan dan mendapatkan kebaikan”.lihat dirasah tarikhiah wa ushuliha, Mustafa Said al-Khin hlm 63.
5. Syekh Yusuf Qardhawiy berkata ; Pemahaman kering pada naskah naskah syariat itu adalah hal yang tercela, seperti pemahaman kaum zahiriah klasik dan modern maka hal yang lebih utama dicela dengan celaan kering adalah perkataan orang orang terdahulu yang tidak mengakomodir perubahan zaman kini dan tetap berada pada ruang zaman mereka dulu, juga tidak mengakomodir hajat kekikinian dibanding hajat tempo dulu, dan tidak mengakomodir pemahaman kekinian dibanding pemahaman klasik, saya pikir andai mereka dapatkan zaman kita dan mereka lihat perkembangan kekinian dan hidup di zaman kekinian dalam posisi mereka sebagai orang orang yang memenuhi syarat berijtihad maka pasti mereka ulama klasik dan terdahulu itu akan merubah fatwa fatwa dan ijtihad mereka sesuai zaman kekinian.” lihat fiqhi aulawiyaat karya al-Qardhawliy hlm 71.
Syekh Yusuf Al-Qardhawiy juga berkata : ” Bahwa pintu Ijtihad itu akan terus terbuka dan tidak seorangpun dapat menutupnya setelah dibuka oleh Rasulullah saw, dan tidak layak bagi para ulama berucap kata pada urusan agama yang terpampang didepan mereka; “kami tidak punya hak dan kemampuan berijtihad dalam persoalan ini karena para fuqaha terdahulu tidak ada pendapat tentang persoalan ini” jadi syariat Islam selalu meliputi kondisi dan keadaan orang orang yang beramal dan berbuat, dan syariat itu selalu terdapat hukum pasti dalam setiap hal atau problematika yang mengemuka, dan keabsahan dari hal ini pasti tidak akan dipertentangkan walau itu hanya pada dua orang saja. lihat min ajli zhohwatin rasyidatin tujaddid addina wa tanhadh bidunya, Syekh Yusuf Al-Qardhawiy, halaman 44.
Secara konklusi bahwa keberlangsungan ijtihad juz’i dan far’i pada masyarakat Islam yang dilakukan oleh kelompok ulama yang bermujahadah adalah hal yang sangat penting adalah urgen karena merekalah pengentas di tempat itu dengan syarat bahwa syarat berijtihad itu dilakukan secara benar, fair dan mereka ahli yang fiqh dan ahli ushul secara cermat dan terukur.
wallahu a’lam.
The post Goresan Pagi: Pintu Ijtihad Hukum Masih Terbuka appeared first on MUI Sul Sel.