Makassar, muisulsel.com – Tawadhu berakar dari kata “wadha’a” yang bermakna meletakkan sesuatu pada tempat yang lebih rendah. Dari pengertian kebahasaan ini, tawadhu adalah menyatakan secara sikap kerendahan hati dari derajat kemuliaan.
Tawadhu adalah kerja hati yang dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, menghormati dan menghargai orang lain serta lahir sikap tenggang rasa.
Sombong (takabbur) merupakan lawan dari sifat tawadhu. Merasa lebih hebat, lebih pintar dan merasa lebih segala-galanya dari orang lain. Sifat takabbur yang pemilliknya dinamai mutakabbir hanya dimiliki oleh Allah swt. Jika ada orang yang mengenakan label ini pada dirinya, berarti orang itu hendak menyaingi Zat Yang Maha Perkasa.
Allah memiliki nama Mutakabbir maknanya seluruh makhlukNya kecil dan berada di bawah kendalinya. Kebesaran Allah yang sering diucapkan dalam takbir “Allahu Akbar” menunjukkan Allah berkuasa atas segala-galanya. Semua makhluk kecil, karena itu jika ada makhluk yang merasa besar, menunjukkan ia sombong bukan di hadapan manusia saja, tapi juga sombong di hadapan Allah swt. Karena kesombonganlah yang membawa Iblis sebagai makhluk yang dilaknat dan dikutuk.
Cermin dari sifat tawadhu adalah menerima dan mendengarkan kebaikan dari orang, tanpa melihat statusnya meskipun ia seorang anak kecil atau orang biasa. Orang yang tawadhu tidak pernah melihat dirinya lebih baik daripada orang lain, dan tidak pernah menganggap orang lain lebih jelek daripada dirinya.
Orang yang tawadhu bagai pepatah, padi semakin berisi semakin menunduk, sedangkan orang yang sombong bagai pepatah, tong kosong nyaring bunyinya. Orang berilmu yang tawadhu, terpancar dari dirinya cahaya ilmu dan hikmah yang bermanfaat bagi orang lain. Ia bagai pelita dalam kegelapan. Ia bagai oase di tengah padang pasir. Tapi orang berilmu yang sombong, dengan ilmunya akan merusak dirinya, dan bahkan merusak orang lain.
Orang kaya yang tawadhu, dengan hartanya ia dekat dengan orang, dekat dengan Allah dan dekat dengan sorga. Tapi orang kaya yang sombong, dengan hartanya ia jauh orang, jauh dari Allah, tapi dekat dengan neraka.
Hasan Basri seorang ulama besar ketika ditanya tentang tawadhu, ia menjelaskan dengan contoh bahwa ketika engkau keluar rumah, lalu kamu tidak melihat orang kecuali engkau melihat ada kebaikan padanya. Gambaran yang diungkapkan ini sejalan dengan QS. Al-Furqan: 63 (hamba-hamba Tuhan yang berjalan di bumi dalam keadaan lemah lembut…).
Demikian pula QS. Al-Isra :37 (Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung).
Gaya atau style seseorang dengan kostum yang digunakan seringkali didasari pada keinginan hati untuk tampil “show”. Dengan motivasi merasa lebih unggul dari yang lain dalam mengenakan busana dianggap sebagai sifat kesombongan.
Berkenaan dengan ini sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah melarang pakaian yang menjulang hingga ke tanah karena kesombongan. Alasan pelarangan itu sesungguhnya bukan pada model pakaian itu, tapi boleh jadi larangan itu dilatari oleh sifat kebanggaan dan kemewahan yang membudaya ketika itu. Karena itu, apapun model pakaian jika didasari pada kesombongan sesungguhnya terlarang.
Islam mengajarkan sikap tawadhu dalam keluarga. Membantu pekerjaan istri di rumah adalah contoh yang pernah dilakukan Nabi Muhammad saw untuk menjadi pelajaran bagi kita ummatnya. Bahkan Beliau juga mengajarkan tawadhu sampai kepada pembantu rumah tangga. Beliau berkata bahwa apabila seorang pembantu membawakan engkau makanan, jika engkau tidak sempat makan bersama, maka cicipilah satu atau dua suap, karena dapat melegakan hatinya.
Tawadhu ada dua macam bentuknya, jika dipahami tawadhu dengan hormat, sopan dan santun. Tawadhu yang baik seperti orang yang menghormati serta santun di hadapan orang tanpa pamrih, tapi semata karena akhlak yang mulia untuk dipraktikan. Sesuai pesan Nabi, hormati yang lebih besar dan sayangi yang lebih kecil.
Ada juga tawadhu yang jelek. Hormat dan sopan yang dibuat-buat karena ada kepentingan. Ini sesuai dengan pepatah “ada udang di balik batu”.
Makna lain dari tawadhu ialah yang berkenaan dengan status hamba kepada Allah swt. Hamba yang menaati aturan Tuhan dan menjauhi laranganNya adalah sikap tawadhu manusia kepada Sang Khalik. Manusia yang sombong adalah mereka yang tidak peduli dan menganggap remeh perintah dan larangan Allah swt.
Tiadalah orang yang tawadhu kecuali akan diangkat oleh Allah dan manusia. Dan tiadalah orang sombong kecuali akan dihinakan oleh Allah dan manusia.
The post Tawadhu, Mengangkat Derajat appeared first on MUI Sul Sel.