Oleh: KH Sholahudin al-Aiyub, Ketua MUI Bidang Halal dan Ekonomi Syariah
الله أكبر (×9) لا إله إلا الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد.
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ جَعَلَ رَمَضَانَ شَهْرًا مُبَارَكَةً ورَحْمَةً، ومَغْفِرَةً ِلأُمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إلِهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعدُ، فيا عباد الله! اتَّقوا الله وأطيعوا وكبِّروه تكبيرا.
Kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Sejak tadi malam, terdengar gema takbir, tahlil, dan tahmid saling bersautan membahana di angkasa, menyambut hadirnya Hari Raya Idul Fitri 1443 H. Menandai purnanya bulan istimewa, yaitu Ramadhan yang penuh kasih sayang (rahmah), ampunan (maghfiroh), dan penebus api neraka (‘itqun minan-nar).
Syukur Alhamdulillah, kita tahun ini masih berkesempatan bertemu dengan Hari Raya yang mubarok ini. Semoga amal ibadah yang kita tegakkan di bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT, dan kita dianugerahi kesehatan dan kekuatan serta keistiqamahan untuk menjalankan semua perintahNya dan meninggalkan semua laranganNya.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia…
Hari raya Idul Fitri tahun ini terasa lebih istimewa karena kita dapat merayakannya secara terbuka, setelah beberapa tahun terakhir hal itu tidak bisa dilakukan.
Pandemi Covid-19 yang selama ini menghalangi perayaan ied secara terbuka, saat ini sudah mengalami penurunan.
Meskipun covid-19 belum sepenuhnya hilang, tapi dengan tekad dan ikhtiar bersama, baik Pemerintah maupun masyarakat, yang dengan kesatu-paduan niat untuk keluar dari pandemi, akhirnya didengar dan diijabah oleh Allah SWT.
Status pandemi secara perlahan berubah menjadi endemi. Ini merupakan manifestasi dari kesabaran kita semua dalam menghadapi musibah, sebagaimana anjuran ajaran agama.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Sabar yang dimaksud di ayat ini bukanlah perilaku pasif, berpangku tangan dan tidak berbuat apa-apa dalam upaya menghilangkan musibah. Sabar merupakan perilaku aktif menjalani semua ikhtiar terbaik, agar kita bersama bisa terhindar dari bencana Covid-19. Pandemi sudah mengarah menjadi endemi, tapi Covid-19 beserta semua variannya belum sepenuhnya hilang.
Oleh karena itu, pelonggaran pelaksanaan perayaan hari raya iedul fitri tahun ini juga harus tetap menyertakan ikhtiar bersama kita, yaitu tetap memproteksi diri dan orang lain dengan tetap mematuhi dan menegakkan protokol Kesehatan, terutama memakai masker dan mencuci tangan dengan sabun. Hal ini tetap perlu kita lakukan sebagai manifestasi pelaksanaan sabar sebagaimana dianjurkan oleh ajaran agama kita. Dengan ikhtiar kita bersama ini semoga menjadi sababiyah betul-betul diangkatnya Covid-19 beserta seluruh variannya dari bumi nusantara dan negara-negara lainnya.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia…
Hari raya iedul fitri menjadi penanda berpisahnya kita dari bulan Ramadhan, bulan yang telah menempa dan menggembleng kita menjadi mukmin yang lebih baik. Surat al-Baqarah ayat 183 menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“wahai orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan umat terdahulu, supaya kamu bertaqwa”.
Ayat tersebut menyatakan secara jelas (manshush) bahwa output diwajibkannya puasa Ramadhan adalah agar orang mukmin dapat menjadi pribadi bertaqwa.
Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap orang mukmin untuk berusaha sekuat hati untuk mencapai tujuan tersebut. jangan sampai semua ibadah dan amal kebaikan selama Ramadhan tidak berbekas dan tidak berpengaruh apapun bagi kehidupan. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Furqan ayat 23:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”.
Ada banyak hikmah dari ibadah di bulan Ramadhan yg bisa dipetik dan aktualkan di kehidupan sehari-hari, khususnya hikmah puasa. Di antara hikmahnya ialah bagaimana kebiasaan orang mukmin dalam menahan diri (al-imsak) selama puasa di bulan Ramadhan dapat terus diaktualkan dalam setiap kesempatan di luar Ramadhan. Dalam kesempatan yang terbatas ini akan diuraikan tiga di antara hikmah menahan diri tersebut.
Pertama, menahan diri agar tetap mengonsumsi sesuatu hanya yang halal. Seorang mukmin harus memilah dan memilih apapun yang akan dikonsumsinya. Semuanya harus dipastikan kehalalannya.
Baik halal secara bahan dan proses (halal dzati), maupun halal asal usul hartanya (halal lighairihi). Wajib hukumnya bagi seorang mukmin untuk memastikan kehalalan barang yang akan dikonsumsi. Sebagaimana sabda Rasulillah SAW:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ (رواه البخاري ومسلم)
“sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram juga jelas, dan di antara halal dan haram ada yang syubhat (tidak jelas), yang tidak diketahui kebanyakan orang.
Barangsiapa yang berhati-hati dengan meninggalkan barang yang syubhat, maka selamat agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang jatuh dengan mengonsumsi yang syubhat, maka ia telah jatuh kepada sesuatu yang haram”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sebab barang haram yang dikonsumsi dan tumbuh menjadi energi dan daging, maka itu bisa membawa petaka baginya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
« من نبت لحمه من السحت فالنار أولى به »
“Barangsiapa dagingnya tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya” (HR Ahmad, al-Hakim dan at-Thabrani)
Orang yang mengonsumsi sesuatu yang haram, maka doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT:
“أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ:{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }، وَقَالَ: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ” (رواه مسلم)
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Bersih sempurna, tidak menerima kecuali yang bersih (baik). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada umat Islam hal-hal yang diperintahkan kepada para utusan-Nya.
Kemudian Ia membaca ayat {“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”} dan ayat {Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu}.
Kemudian Rasul menyebut seorang yang bepergian jauh untuk melaksanakan ibadah, ia berdoa menadahkan tangan ke langit, ya Tuhan, ya Tuhan, dan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan semua itu didapat dari yang haram, maka tidak akan dikabulkan doa tersebut” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, seorang mukmin harus terus menjaga dirinya dan memastikan apapun yang akan dikonsumsi harus diyakini halal, baik dzat ataupun asal usul harta yang digunakan membelinya.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia…
Hikmah kedua, ialah menahan diri dari penyakit hati, seperti cepat marah, iri dan dengki, serta ghibah dan fitnah. Semua penyakit hati tersebut selama berpuasa harus ditahan. Karena jika tidak ditahan dan tetap dilaksanakan, maka bisa menghilangkan pahala puasa bagaikan nyala api melumat dengan tandas kayu kering.
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِم لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
“Banyak orang berpuasa tidak mendapat (pahala) apa-apa kecuali lapar. Dan banyak orang mendirikan shalat malam tidak mendapat (pahala) apa-apa kecuali hanya kantuk akibat begadang” (HR Ahmad).
Cobaan terbesar umat manusia di era teknologi informasi saat ini ialah tidak bisa menahan diri dari lisan virtualnya. Yaitu dengan bersosial media tanpa menyaring baik-buruknya. Dengan cepat lisan virtualnya mengirim pesan atau berita, tanpa terlebih dahulu dikonfirmasi kebenaran dan kepantasan untuk diunggah di sosial media.
Perilaku seseorang di sosial media kadang berbeda sekali dengan perilakunya di dunia nyata. Banyak ditemukan seseorang yang mempunyai kehidupan ganda: yaitu di kehidupan nyata ia dikenal sebagai pribadi yang baik, saleh dan santun. Tapi kehidupannya di dunia maya berbeda sama sekali. Seakan-akan orang tersebut memisahkan standar kebaikan, kesalehan dan kesantunan di dunia nyata dan dunia maya. Padahal secara agama dua-duanya mendapatkan beban tanggungjawab (taklif) yang sama.
Perbuatan buruk yang dilarang dilakukan di dunia nyata, juga dilarang dilakukan di dunia maya. Orang yang menjalankannya sama-sama mendapat dosa dan hukuman dari Allah SWT.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ و وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَا حَاجَةَ لِلَّهِ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“siapa orang yang tidak meninggalkan perkataan kotor dan menjalankannya maka tidak ada nilai kebaikan di sisi Allah dalam dia meninggalkan makan dan minum” (HR. al-Bukhari)
Oleh karena itu, Manahan diri dari itu semua yang telah dilakukan selama puasa Ramadhan, diharapkan dapat diteruskan di kehidupan lain setelah bulan Ramadhan.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia…
Hikmah ketiga, ialah menahan diri untuk tetap istiqamah berperilaku jujur dan disiplin. Setiap orang berpuasa pasti menjadi pribadi yang sangat jujur. Misalnya meskipun dia dalam keadaan sendiri, tidak akan mungkin dia sembunyi-sembunyi melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Meskipun tidak ada seorangpun yang melihatnya, dia tidak akan mungkin melakukannya.
Hal itu terjadi karena orang yang berpuasa memiliki kesadaran yang tinggi bahwa apapun yang dilakukannya dilihat oleh Allah Ta’ala. Dengan kesadaran seperti itu dia telah menjadi pribadi yang sangat jujur. Sikap jujur ini yang disebut ihsan, sebagaimana sabda nabi SAW:
الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“ihsan ialah saat engkau beribadah kepada Allah seperti kamu melihatNya, dan jika kamu merasa tidak bisa melihatNya, maka kesadaran bahwa Dia Melihatmu”.
Orang berpuasa juga sangat disiplin. Orang berpuasa akan menjaga dengan ketat pengaturan waktu. Sebelum maghrib datang, meskipun kurang lima menit, tidak mungkin ia berbuka. Begitu juga saat sahur. Saat waktu imsak telah tiba, maka apapun yang bisa membatalkan puasa akan ditinggalkan. Ini menunjukkan orang berpuasa sangat disiplin menjalankan pengaturan waktu.
Oleh karena itu, sikap jujur dan disiplin tersebut harus tetap ada dan diaktualkan di kehidupan keseharian. Sehingga kita semua saat telah meninggalkan Ramadhan dan berhari raya telah berupah menjadi orang yang baru, yaitu orang mukmin yang mempunyai kepribadian yang bertakwa.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
بارك الله لي ولكم وتقبل الله صيامنا وصيامكم وجعلنا وإياكم من العائدين والفائزين والمقبولين والحمد لله رب العالمين.
KHUTBAH KEDUA
اللهُ أَكْبَرُ، (x7 ) لاَ إلِهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا أَمَرْ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ إِرْغَاماً لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرْ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الخَلاَئِقِ وَالْبَشَرْ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ إِلَى يَوْمِ الْمَحْشَرْ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ! اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمْ، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ : إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنْ، وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنْ.
اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ.
اَللّهُمَّ انْصُرِ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْفَاجِرَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. آمِيْنَ يَا مُجِيْبَ السَّائِلِيْنَ.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، والحمد لله رب العالمين.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته