“The animal of rationale”, seperti yang diungkapkan seorang filsuf Athena, Aristoteles, memberikan suatu makna yang memungkinkan manusia terus eksis dalam kehidupannya.
Tidak ayal jika dalam Alquran banyak dijumpai ungkapan retoris afala ta’qilun, afala tatafakkarun, atau afala yatadabbarun yang tidak kurang dari 200 kali.
Manusia yang dibekali dengan akal-pikiran (al-hayawan an-natiq) seyogianya berpikir (tafakkur), memahami (tafaqquh), dan merenungi (tadabbur) akan fenomena alam yang sejatinya adalah tanda kebesaran ilahi dalam tatanan kosmologi yang fana ini.
Tanda kebesaran Tuhan yang demikian tidak serta merta berupa legal-etis mengajak manusia hidup di jalan yang benar atau menujukkan akan hal yang batil.
Dalam hal ini, manusia perlu untuk mengkaji dan berdialektika dengan alam melalui suatu riset nalar (practical) dan instuitif (empirical) untuk mereguk pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Kemampuan nalar atau disebut ‘aql ju’zi memungkinkan manusia memahami fenomena eksternal yang tampak serta kemampuan instuisi atau dikenal ‘aql kulli membuat manusia mampu melihat aspek internal dan realitas esetoris.
Demikian cara Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya, yakni melalui ayat normarif yang diwahyukan secara langsung berupa nomos bagaimana manusia semestinya hidup (qauliyah) dan melalui ayat fenomenologis yang memerlukan telaah dan kesadaran (kauniyah).
Sejatinya, sumber ilmu dalam Islam ada dua, wahyu Alquran dan alam semesta. Mengamalkan dan mentafakkuri keduanya menjadi suatu wasilah yang menempatkan manusia dalam hierarki nilai penghambaan yang sejati, khairu ummah atau tataran al-makrifah.
Sayyed Muhammad Nuqaib Al-Attas memberikan suatu metodologi episteme antara bahasa wahyu dan bahasa penciptaan, yakni metode tafsir dan takwil.
Untuk memahami ayat-ayat pasti digunakan metode tafsir dan untuk memahami ayat-ayat yang samar diperlukan metode takwil. Tafsir bukanlah pemahaman yang final, dibutuhkan takwil untuk mendapatkan makna yang komprehensif dan lebih mendalam
Oase semangat tafakkur terhadap alam (al-kaun) terus dinyalakan oleh para ilmuan Muslim yang selain menyadari kemampuan lebih manusia akan hal itu juga mengkhawatirkan realitas sains modern Barat yang terus menggempurkan adanya free value tanpa terikat dengan kerangka nilai dan dogma religius.
Mereka yang diakui sebagai pelopor Muslim adalah Sayyed Hussein Nasr, seorang fisikawan Muslim asal Iran dengan konsep “islamisasi sains”, Sayyed Muhammad Nuqaib Al-Attas dengan semangat “islamisasi ilmu” dan Ismail Raji Al-Faruqi yang menawarkan pembaharuan “islamisasi pengetahuan modern.”
Islamisasi sains (isalamization of science) adalah semangat kebugaran konsep yang membangun paradigma keilmuan berlandaskan nilai-nilai keislaman, baik aspek ontologis, epistimoligis maupun aspek aksiologisnya.
Sains Islam adalah pengetahuan yang dibedakan dari sains Barat. Epistimologi sains Islam tetap dalam koridor nilai syariah sebagai basis orientasi yang tidak distruktif dan inheren dengan permasalahn manusia.
Usaha ini merupakan bagian manifestasi bentuk syukur atas rahmat tuhan yang telah menjadikan manusia sebaik-baiknya makhluk.Barang tentu ini wujud keshalehan sosial yang berusaha menempatkan relasi manusia dan alam berada terus dalam koridor kemanfaaatan.
Sehingga manusia selalu berada dalam ikhtiyar penghambaan untuk mencapai ridha-nya yang menggoreskan tujuan hidup dalam sanubarinya: wa ma khalqtul jinna wal insa illa liya’buduni.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja).” ( QS Adz Dzariyat ayat 56). (A Fakhrur Rozi, ed: Nashih)