Akhir-akhir ini media massa banyak memberitakan mengenai kasus rudapaksa yang terjadi di Indonesia. Pelaku tindakan tersebut dilansir terdiri dari masyarakat sipil, civitas akademika, hingga aparatur pemerintahan.
Lalu bagaimanakah Islam memandang kasus rudapaksa tersebut? Berikut penjelasannya.
Dalam tafsir tematik Kementrerian Agama RI disebutkan bahwa hubungan seksual yang terjadi di luar pernikahan dapat terjadi atas dasar suka sama suka (ikhtiyârî) dan ada pula yang terjadi karena dipaksa (rudapaksa) atau diperkosa (ijbârī).
Mengutip pendapat Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh bahwa perzinaan yang didasari suka sama suka (zinâ ikhtiyârî), jika perbuatan tersebut terbukti, baik melalui saksi maupun pengaduan, maka keduanya dikenakan had zina.
Namun berbeda dengan kasus rudapaksa (zinâ gairu ikhtiyârî), jika terbukti, maka si perempuan terbebas dari hukuman zina. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ yang termaktub dalam Sunan Ibnu Majah nomor hadits 2033, yaitu:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Dari Abu Dzar Al Ghifari ia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda, “’Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.'”
Tidak ada ayat-ayat Alquran yang secara eksplisit berbicara mengenai rudapaksa, serta untuk membuktikan bahwa korban dipaksa atau diperkosa bukan persoalan yang sederhana.
Hal ini disebabkan suatu tindakan dikategorikan sebagai pemaksaan salah satunya jika si pelaku memiliki kekuasaan untuk merealisasikan ancamannya. Karenanya korban tidak memiliki kemampuan untuk menolak sebab ancaman yang dilayangkan.
Oleh karenanya, untuk membuktikan perilaku rudapaksa cukup sulit, kecuali si pelakunya mengakui. Sebab, saat seseorang dituduh telah tindakan tersebut namun si pelaku mengingkarinya, maka si penuduh akan dikenakan had karena sebagaimana had qadzaf.
Di samping itu, penetapan empat orang saksi dalam kasus perzinaan, baik itu ikhtiyârî maupun ijbârî, selamanya akan menjadi problematis.
Kalaulah demikian, di manakah letak kemaslahatan hukum Islam? Jika praktiknya pada kasus rudapaksa justru membuat sengsara?
Dalam Shahihul Bukhari, kitab az-Zina bab izastukrihat al-mar′ah ‘alaz-zinâ disebutkan bagi korban rudapaksa tidak mungkin dia mengadukan kepada hakim tanpa didukung oleh bukti-bukti yang kuat.
Jika kasus terbukti kebenarannya maka secara hukum, baik hukum positif maupun Islam, maka si pelaku rudapaksa dijatuhi had zina. Namun sebaliknya, jika korban tidak mampu membuktikan yang kuat justru dialah yang terkena akibat hukum tersebut.
Karenanya dalam kasus rudapaksa perempuanlah yang mengalami tekanan batin yang berkepanjangan. Bahkan, dia dapat melakukan tindakan terburuk yaitu melakukan aborsi jika hamil. Namun hal ini bisa ditangani secara medis melalui tes DNA untuk membuktikan ayah dari janin yang ada di dalam kandungannya tersebut. Wallahu’alam. (Isyatami Aulia/ Nashih Nashrullah)