Bercanda adalah sarana manusia mengekspresikan perasaannya, manusia sebagai makhluk sosial perlu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Suasana yang cair dibangun dalam candaan agar tidak terasa kaku dalam berinteraksi, candaan tentu memiliki batasan-batasan agar komunikan menerima candaan tersebut.
Islam mewajarkan hal tersebut, dalam suatu kesempatan Rasulullah ﷺ mengajak istri serta sahabatnya untuk saling bercanda dengan orang lain agar membantu mereka menjadi lebih bahagia. Sahabat Nabi Muhammad ﷺ di lain kesempatan juga melakukan candaan agar suasana menjadi cair.
Dalam bercanda tentu Islam memiliki adab yang perlu diperhatikan, mengutip buku Adab Bercanda Dalam Islam yang ditulis pleh Hafidz Muftisany menyebutkan bahwa ada sembilan adab yang perlu diperhatikan yakni:
Pertama, candaan yang dilakukan tidak mengandung nama Allah. Hal ini sebagaimana tuntunan yang ditegaskan Alquran surat At Taubah ayat 65-66 sebagai berikut:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
” Katakanlah, Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
Kedua, tidak berbohong. Hal ini sebab Nabi Muhammad ﷺ pernah berkata yang diriwayatkan Abu Dawud. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang berbicara lalu mengarang cerita dusta agar orang lain tertawa. Celaka baginya, celaka baginya.”
Ketiga, tidak menyakiti dengan sengaja, sebab Allah ﷻ berfirman dalam Alquran surah Al Hujarat ayat 11:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Keempat, tidak melewati batas, jangan sampai bercanda berlebihan karena dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ
“Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no 3400).
Kelima, tidak melakukan candaan terhadap orang yg tidak suka, hal ini bertujuan agar candaan yang dilontarkan tidak menjadi pemercik api yang bisa memanas karena kesalah pahaman
Keenam, tidak menjadikan topik serius sebagai candaan, hal ini terkait dengan adab sebagai Muslim yang bijaksana dan pandai menempatkan diri karena semua akan dipertanggung jawabkan.
Ketujuh, menghindari larangan Allah ﷻ dalam candaan, karena sudah sepatutnya sebagai seorang Muslim mengrindari larangan-larangan dalam agama.
Kedelapan, tidak berkata dan bersikap yang konotasinya buruk, karena kenyamanan dalam berhubungan sosial menjadi hal yang penting.
Kesembilan, menghindari tertawa berlebihan sebagaimana dikatakan oleh Aisyah RA:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَاحِكًا حَتَّى أَرَى مِنْهُ لَهَوَاتِهِ إِنَّمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ
“Aku belum pernah melihat Rasulullah ﷺ tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan lidahnya, namun beliau hanya tersenyum.”
Menjadi seorang Muslim yang ramah dan berakhlak mulia adalah sebuah kebaikan dan memiliki amal sosial terhadap orang lain karena memberi tawa dan bahagia bisa memberikan kedamaian dan keceriaan dalam sebuah hubungan di sebuah lingkungan.
(M Ilham Balindra/ Nashih)