JAKARTA— Islam wasathiyah menjadi arus utama dakwah dan pergerakan Majelis Ulama Indonesia. Apa sajakah ciri-ciri umat wasathan (umat jalan tengah atau moderat)?
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis, menjelaskan terdapat sembilan ciri Islam jalan tengah atau umat washathan yang dirumuskan melalui Taujihat Surabaya pada Munas MUI 2015 lalu yaitu pertama, berada pada jalan tengah, yaitu antara berlebih-lebihan dalam beragama dan mereka yang mengurangi ajaran agama.
Kedua, keseimbangan dan tegas sehingga dapat dibedakan antara penyimpangan (inhraf) dan perbedaan (ihktilaf). Ketiga, mengutamakan keadilan dan bertindak secara proposional.
Keempat, mengedepankan prinsip musyawarah dengan prinsip menempatkan kemaslahatan umum di atas segalanya.
Kelima, mengutamakan prinsip reformatif (islahi) dengan berpijak pada kerangka nilai dan mengakomodasi kemajuan zaman.
Keenam, pengutamaan prinsip tasamuh.
Ketujuh, bersikap egaliter (musawah) dalam muamalah dan hukum. Kedelapan, memegang prinsip aulawiyah (prioritas). Kesembilan, memperhatikan perkembangan zaman.
Dia mengatakan, dasar mengenai Islam wasathiyah termaktub dalam pada ayat 143 surah Al Baqarah yang berbunyi:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….”
Kiai Cholil mengutip pidato Kiai Miftachul Akhyar pada penutupan Munas ke-10 MUI pada 2020 bahwa dakwah harus dengan cara yang ramah, mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, serta membela bukan mencela
“Apa yang disampaikan Kiai Miftach pada penutupan Munas tahun 2020 kemarin bisa dijadikan kerangka awal metode dakwah Islam wasathi. Terlebih bahasa tersebut dengan mudah dan sering ditemui di media sosial,” kata Kiai Cholil dalam webinar “Dakwah Islam Wasathiyah bagi Pengurus MUI dan DKM Masjid se-Kabupaten Ciamis”, pada Selasa (30/11) lalu, sebagaimana dikutip MUIdigital, Jumat (3/12).
Tak hanya itu, Kiai Cholil menjelaskan landasan untuk menyuguhkan dan menghadirkan wajah dakwah yang menyenangkan bersandar pada hadits Nabi Muhammad ﷺ, yaitu:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Nabi ﷺbersabda, “Mudahkanlah setiap urusan dan janganlah kalian mempersulitnya, buatlah mereka tenang dan jangan membuat mereka lari.” (HR Bukhari).
Menurut Kiai Cholil, pengamalan yang baik dari hadits di atas mampu membuat orang datang mendengarkan apa yang disampaikan sehingga beragama menjadi lebih tenang dan menyenangkan.
Lebih lanjut, menurut Kiai Cholil dalam konteks bernegara, Indonesia masuk kedalam substansialistik dan kontekstualistik dalam beragama. Substansinya yaitu dengan menerapkan agama sebagai inspirasi, sedangkan formalistiknya adalah sebagai teksutual seperti beberapa peraturan perundang-undangan.
“Kita bukan negara agama melainkan kita bukan negara yang anti agama. Oleh karena itu, ketika menyikapi Pancasila sebagai dasar negara, agama menduduki inspirasi dan aspirasi. Inspirasi untuk membentuk negara, aspirasinya terletak pada formalisasi syariah,” katanya.
Dari sini, Kiai Cholil menekankan agama harus menjadi sumber untuk peningkatan peradaban, bukan sebagai identitas kelompok sosial sehingga kehadiran agama yang berbeda-beda tidak dimaknai sebagai ancaman antarkelompok keagamaan itu sendiri.
(Isyatami Aulia/ Nashih)