Allah ﷻ menciptakan manusia dengan berbagai kenikmatan, salah satunya yaitu penglihatan. Namun justru nikmat yang besar itulah kadang jarang disadari oleh manusia.
Allah ﷻ telah memberikan peringatan dengan firman-Nya bagi siapa yang bersyukur maka akan ditambah kenikmatan dari-Nya. Sedangkan bagi siapa yang mengingkarinya, maka tak lain akan mendapatkan azab yang pedih, firman-Nya dalam surat Ibrahim ayat 7:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
Namun, tidak semua manusia diberikan kenikmatan yang lengkap, di antaranya yaitu kenikmatan penglihatan. Hal tersebut bukan berarti Allah pilih kasih terhadap hamba-Nya. Akan tetapi yang demikian merupakan salah satu cobaan dan bentuk kasih sayang-Nya.
Salah satu ulama yang lahir dalam keadaan tunanetra yaitu Imam Asy Syathibi Al Andalusi. Meskipun terlahir dengan keadaan tidak bisa melihat, dia dikenal sebagai seorang ulama besar dalam bidang ilmu qiraat pada zamannya.
Imam Asy Syathibi memiliki nama lengkap Abu Al Qasim bin Fîrruh bin Khallaf bin Ahmad Asy Syathibi Ar Ru’aini. Asy Syathibi lahir di kota Xativa (Syathibah) Spanyol, sebuah kota di Andalusia di pengujung 538 H/1143 M.
Ia wafat di Mesir pada hari ahad setelah sholat ashar, 28 Jumadil Akhir tahun 590 H di usia 52 tahun. Ia disemayamkan di pemakaman Al Fadhil Abdurrahman Al Bisani, tepatnya di kaki gunung Al Muqatam, Mesir.
Dalam kitab Nakt Al-Himyan fi Nukat Al-‘Umyan karya Salahuddin Khalil Ash Shafadi merupakan kitab yang khusus membahas mengenai kelebihan orang-orang hebat dan terkenal namun tunanetra. Salah satu tokoh ulama yang ia sebutkan yaitu Imam Asy Syathibi.
As Shafadi dalam kitabnya menyebutkan bahwa kebanyakan orang tunanetra mempunyai kecerdasan di atas rata-rata orang pada umumnya. Menurutnya, mempunyai kemampuan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan orang normal sehingga mereka memiliki tingkat fokus yang maksimal melebihi orang lain pada umumnya.
Perjalanan intelektual
Dalam bidang keilmuan, Asy Syathibi tak hanya pakar dalam ilmu qiraat, beliau juga menguasai berbagai disiplin ilmu seperti keislaman, tafsir, hadis, dan sastra Arab.
Dalam kitab Tarikh al-Islam wa Wafiyat al-Masyahir wa al-A’lam, Imam Adz Dzahabi menyifati Asy Syathibi dengan berbagai macam gelar di antaranya, imam yang sangat alim, muhaqqiq yang cerdas dan jeli, kuat hafalannya, berpengetahuan luas, ahli dalam bidang qiraat dan hujjah-hujjahnya, serta seorang panutan, zuhud, ahli ibadah yang taat kepada Tuhannya.
Pada awalnya ia belajar ilmu qiraat di kepada Abu Abdillah Muhammad bin Abul ‘As An Nafari di negerinya sendiri. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya dengan berguru kepada Imam Abu ‘Amr Ad Dany, seorang ulama besar penulis kitab tentang qiraat saba’ah yaitu at-Taisîr fi Sab’i al-Qirâ’ât, yang sebelumnya telah ia hafal, di Kota Balansia.
Tak hanya itu, beliau juga berguru dan mendengar periwayatan hadis dari Imam Abu Al Hasan Hudzail. Ia juga belajar kepada Abu Al Hasan Al Nikmah, Abu Abdillah bin Sa’adah, Abu Hasan Alinim Hani Al Umari, Abu Muhammad bin Asyir Abu Abdillah bin Abdurrahim, Alim bin Abdul Aziz dan Abu Abdillah bin Hamid dan masih banyak lagi guru beliau baik dari Spanyol, Mesir hingga Makkah.
Karya-karya
Salah satu kontribusi besar Asy Syathibi yaitu karya-karyanya yang mampu memudahkan para pengaji ilmu qiraat Alquran. Karya-karyanya tersebut diapresiasi dan terus dipelajari baik oleh generasi pada masanya maupun sesudahnya.
Kitab Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani fi al-Qira’at al-Sab’i yang lebih masyhur dengan matan Asy Syathibi merupakan salah satu karyanya yang paling monumental hingga kini dalam bidang ilmu Qiraat. Ia merampungkan kitab tersebut saat menjadi guru besar qiraat pada Madrasah tempatnya mengajar di kawasan Mulukhia, Kairo, Mesir.
Di sana pula, ia berhasil menyelesaikan karyanya yang lain seperti ‘Aqilatu Atrabil Qasâid fi Asnal Maqâsid, Nâzimatuz Zahr, serta ringkasan kitab at-Tahmid (Syarh al-Muwatha’).
Karenanya tak heran jika para ulama memberikan banyak perhatian terhadap karyanya yang fenomenal yaitu matan Asy Syathibi, hingga Imam Al Jazari berkomentar dalam kitabnya Ghayat al-Nihayat fi Thabaqat al-Qurra’, mengenai kitab tersebut:
“Barangsiapa yang mempelajari qashidah Imam Asy Syatibi ini, maka ia akan tahu kadar anugerah yang Allah berikan kepadanya. Terlebih, qashidah al-Lamiyah (matan Syatibi) yang banyak para pakar sastra setelahnya bahkan tidak mampu menandinginya. Kitab ini mendapat sambutan yang sangat luar biasa dan sangat terkenal, sehingga saya tidak tahu selain kitab ini.
Bahkan (hampir saya mengatakan) selain disiplin ilmu ini tidak ada yang seterkenal kitab ini, saya setiap Negara pasti akan ditemukan naskah kitab ini, bahkah disetiap rumah para penuntut ilmu pasti ada naskah kitab ini.”
Kehidupan yang sangat sederhana menjadikan Imam Asy Syathibi mengabdikan seluruh hidupnya untuk keilmuan khususnya dalam bidang qiraat. Ia selalu dalam keadaan suci sepanjang waktu, jikalau berhadas segera mengambil air wudhu.
Tak hanya itu, ia dikenal seorang yang pendiam dan hanya berbicara untuk persoalan penting saja terutama dalam bidang ilmu. Tidak heran kalau Asy Syathibi dianggap sebagai wali Allah ﷻ oleh para muridnya.
Kendati tidak dikaruniai penglihatan oleh Allah ﷻ, namun Imam Asy Syathibi membuktikan bahwa tingkat kualitas diri tergantung pada manusia tersebut. Apakah ia mau menggali dalam serta luasnya ilmu Allah ﷻdengan segala karunia yang telah diberikan-Nya.
Kelebihan tidak menjadi penghalang, justru menjadi ladang rahmat yang Allah ﷻ berikan bagi hamba-Nya. Rasa syukurlah yang menjadikan setiap rahmat dan karunia Allah terus ditambahkan hingga melampaui kekurangan yang dimiliki. Wallahu’alam. (Isyatami Aulia/ Nashih).