Salah satu isu yang pada abad ke-21 ini yang berkembang menjadi perhatian global adalah tingginya tingkat kerusakan alam. Eksploitasi sumber daya alam berlebih, penggundulan kawasan hutan, dan pencemaran lingkungan berskala global memunculkan kekhawatiran bersama, akan jadi apa bumi ini nanti ke depannya?
Masihkan ada alam yang baik untuk ditinggali dan terhindar dari ancaman krisis lingkungan? Bukankah setiap kerusakan lingkungan berakibat pada ketidakseimbangan alam dan dapat memicu bencana alam yang lebih buruk?
Perkembangan teknologi telah berhasil membawa manusia untuk menaklukkan dan merajai bumi dan seluruh jagat raya, menginjakkan kaki di planet jauh dan menempatkan pesawat luar angkasa di bulan, menambah produktivitas dengan berlipat ganda (akselerasi), industrialisasi yang serba masinal, serba segera (instan), eksploitasi barang-barang tambang di perut bumi, percobaan-percobaan ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat tinggi (misalnya percobaan nuklir) dan lain sebagainya.
Teknologi mengubah cara kerja industri dalam mengolah kekayaan alam, dan sayangnya seringkali abai pada kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam buku Konservasi Alam dalam Islam, Fachruddin M Mangunjaya, menjelaskan persoalan kerusakan ekosistem hutan misal, dicatat bahwa bencana kebakaran dari Juni hingga Oktober 2015 dijumpai lebih dari 100 ribu hotspot kebakaran telah melalap 2,6 juta hektare hutan di Indonesia.
Kerugian yang ditimbulkan setara kurang lebih dengan Rp196 triliun. Ditengarai penyebab dari kebakaran hebat tersebut karena metode land clearing, yakni usaha membuka lahan untuk keperluan industri atau pembalakan liar dengan cara yang mudah dan murah yakni melalui pembakaran, yang tentu justru memiliki banyak mudharatnya.
Allah SWT dalam Sura Al Araf ayat 56 sudah memperingati kita dengan firman-Nya:
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
K E S Manik dalam bukunya yang berjudul Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan, di Indonesia, hutan merupakan vegetasi alami utama dan salah satu sumber daya alam yang sangat penting. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks, terdiri dari pohon, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, dan hewan lainnya yang saling memengaruhi dan bergantung. Dari hutan pula beberapa satwa bermukim dan tinggal, lalu hutan pula menjaga ketersediaan air bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Artinya, keberadaan hutan dan lingkungan sejenisnya merupakan prasyarat terciptanya hunian yang baik bagi satwa alami, maupun manusia sebagai khalifatullah yang wajib menjaganya. Jadi, keberadaan hutan dan lingkungan sejenisnya, adalah anugerah Allah SWT yang tidak boleh dirusak oleh manusia sebagaimana diterangkan pada surah Al A’raf di atas tadi.
Alih-alih merusak ekosistem hutan dan lingkungan untuk kepentingan ekonomi dan bisnis yang berlebihan, kita harus melestarikan dan menjaganya dengan baik. Kehidupan makhluk hidup lain merupakan tanggung jawab manusia bersama. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika dalam suatu perjalanan ia melihat sarang semut terbakar, beliau pun bersabda:
رأَى قَرْيَةَ نَمْلٍ قَدْ حَرَّقْنَاهَا، فَقَالَ: «مَنْ حَرَّقَ هذِهِ؟» قُلْنَا: نَحْنُ قَالَ: «إنَّهُ لا يَنْبَغِي أَنْ يُعَذِّبَ بالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ»
“Siapakah yang membakar ini?” Sahabat menjawab “Kami Ya, Rasulullah.” Jawab Nabi, “Tidak boleh menyiksa dengan api, kecuali Tuhan yang menjadikan api.” (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut secara lugas menjelaskan bagaimana pengrusakan ekosistem melalui pembakaran sangat dilarang Rasulullah. Jangankan membakar hutan yang memiliki beragam makhluk hidup, sarang semut saja tidak diperbolehkan.
Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah mendapati beberapa orang melempar-lempar seekor burung, dengan sigap rasululllah berujar “Allah mengutuk orang yang melakukan ini”. Artinya, menganiaya hewan adalah perbuatan yang keji, apalagi membunuhnya.
Berikutnya, Fachruddin M Mangunjaya dalam buku Konservasi Alam dalam Islam menuturkan terdapat tiga konsep praktik konservasi alam dalam Islam yang dapat menghindarkan adanya pengrusakan alam.
- Konsep Hima’
Hima’ adalah suatu kawasan yang khusus dilindungi otoritas penegak hukum dan pemerintah, atas dasar syariat guna melestarikan hidupan liar serta hutan.
Hima’ dapat juga disebut sebagai penyediaan lahan khusus untuk upaya melindungi populasi spesies satwa hidup. Rasulullah SAW pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ untuk melindungi lembah, padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Rasulullah juga melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena lahan hima’ merupakan maslahat umum dan demi kepentingan pelestarian. Sebagaimana sabda Rasulullah:
لا حمي إلالله و لر سو له
“Tidak ada hima’ kecuali milik Allah dan Rasulnya” (Riwayat Al-Bukhari)
Adapun hal positif dari konsep kawasan lindung hima’ ini adalah; 1) merupakan konservasi yang berbasis pada komunitas (community-based conservation), 2) diberdayakan oleh masyarakat lokal sekitar, 3) melibatkan peran-serta publik, 4) pemanfaatan sumber daya secara adil dan bijak, dan 5) menyebabkan bertahannya pengetahuan lokal dan adat setempat.
- Ihya al-mawat (mengelola lahan produktif yang terlantar)
Ihya artinya menghidupkan, sedangkan al-mawat berarti “yang mati”. Secara harafiah berarti menghidupkan yang mati. Sebagai istilah, ihya al-mawat dapat diartikan sebagai usaha untuk mengelola, mengoperasikan, memberdayakan lahan produktif yang masih dapat dimanfaatkan, namun sayangnya terlantar. Melalui cara ini, dapat memungkinkan timbulnya manfaat baik bagi manusia, satwa hidup, dan lingkungan.
Ihya al-mawat dapat menjadi sarana memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk maslahat manusia secara umum. Namun tetap, prinsip dalam memanfaatkannya haruslah bermaslahat, tidak menimbulkan mudharat. Hal-hal yang dapat mendatangkan maslahat seperti dibangunnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), dijadikan ladang, ditanami buah-buahan, sayuran dan lain sebagainya.
Disitir dari buku yang sama, meski upaya ihya al-mawat dapat mendatangkan kebermanfaatan, namun bukan tidak memungkinkan bisa juga menimbulkan mudharat. Maka dari itu, dalam kitab Jami Ahammu Masa’il al-Ahkam, Idris B Khalid, Qadi Gwandu menyampaikan terdapat beberapa hal di mana penggarap lahan yang terlantar harus juga bertanggungjawab pada dampak yang ditimbulkannya, seperti dampak pembakaran dan penghancuran, lumpur hasil menggali sumur yang mungkin mengganggu orang. Secara ringkas, hal itu oleh para ulama telah dirumuskan dalam prinsip fiqih Inna kulla fi’lin yuwajjib al-dhaman (seseorang harus bertanggungjawab atas tindakan merugikan orang lain).
- Harim
Harim merupakan lahan atau kawasan yang berisi sumber-sumber air yang harus dilindungi. Harim adalah gabungan dua kawasan, yakni yang telah digarap (ihya) dan yang tidak digarap (al-mawat). Air sebagai mata air kehidupan amatlah penting bagi kelangsungan makhluk hidup. Bahkan, kebutuhan akan air pun bisa datang berupa kebutuhan untuk menunaikan syariat seperti bersuci, berwudhu. Atau kebutuhan rumah tangga seperti mandi, mencuci, memasak dan lain sebagainya.
Bentuk-bentuk harim dapat berupa sungai, mata air, sumur, ngarai dan lain sebagainya. Dinamakan harim karena larangannya untuk dipergunakan selain demi kepentingan umum. Oleh sebab itu perlu dilindungi, sebab sumber air selalu dibutuhkan setiap orang.
Sebagai seorang Muslim, cukuplah peringatan Allah SWT dalam surat Ar Rum ayat 41 di bawah ini menjadi pengingat bagi kita untuk tidak merusak seisi bumi. Dan berbalik untuk menjaga, melestarikan dan melindunginya, agar kita kembali ke jalan yang benar;, yakni jalan yang diridhai oleh Allah SWT dengan menjaga sebaik-baiknya alam semesta.
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Majelis Ulama Indonesia (MUI), mempunyai concern tinggi terhadap pelestarian lingkungan, melalui Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA MUI). Program advokasi dan pelestarian lingkungan menjadi fokus dari lembaga ini. Fatwa-fatwa MUI juga telah dikeluarkan secara khusus tengan pelestarian lingkungan.
Di antaranya Fatwa No 04 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem, Fatwa No 47 tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan, Fatwa No 22 tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, dan Fatwa No 1 Munas 2015 tentang Pendayagunaan Ziswaf untuk Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Masyarakat.
(Dimas Fakhri Br/ Nashih).