Hubungan seksual bagi yang sudah sah menjadi suami istri memang dibolehkan. Namun, ada batasan yang harus ditaati menurut para ulama.
Salah satu yang harus diperhatikan ketika berhubungan seksual suami istri adalah saat istri sedang haid. Anggota komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Aminudin Yaqub, mengatakan para ulama memiliki sejumlah pandangan mengenai hukum berhubungan seksual saat istri sedang haid.
Kiai Aminudin Yaqub menuturkan, pendapat para ulama mengenai hubungan seksual saat istri sedang haid, ada persamaan maupun perbedaan. Namun, para ulama sepakat bahwa hubungan seksual saat istri sedangan haid, dengan cara bertemunya dua alat vital suami istri hukumnya haram.
Kiai Aminudin juga membeberkan sejumlah pandangan para ulama mengenai hal ini. Menurut pendapat Ibnu Abbas RA, saat istri sedang haid diharamkan berbagai bentuk hubungan seksual dengan istri. Baik bertemunya kedua alat vital suami istri, atau pun hanya bersentuhan saja sudah haram.
Pandangan lain seperti kalangan Mazhab Maliki dan Hanafi mengatakan, hubungan suami istri diperbolehkan selama yang tidak boleh disentuh yaitu antara pusar dan lutut istri. Sementara jika hanya untuk bersenang-senang dengan istri selama pada bagian itu tidak disentuh, maka hukumnya diperbolehkan.
Hal itu juga didasarkan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dari Maimunah, Rasulullah SAW pada saat istri-istrinya sedang haid tetap menggaulinya, tetapi hanya pada bagian ‘di atas sarung’ atau di atas pusar.
Selanjutnya, menurut Imam Syafii mengungkapkan, bahwa boleh berhubungan suami istri selama tidak ada pertemuan kedua alat vital. Selama tidak ada pertemuan itu, maka diperbolehkan untuk bersenang-senang dengan istri.
Kiai Aminudin Yaqub menjelaskan, hal ini juga sesuai dalam firman Allah QS Al Baqarah ayat 222:
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:’’Haidh adalah suatu kotoran.’’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari Wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.’’
Dalam ayat ini, Kiai Aminudin menuturkan, mahid itu bisa berarti wanita yang haid atau tempat keluarnya haid pada wanita. Jadi sebelum Islam hadir, ada tradisi-tradisi dimana wanita yang sedang haid harus dijauhi bahkan diasingkan.
Pada waktu itu, lanjut kiai Aminudin, jangankan satu kamar dengan wanita haid, untuk satu rumah pun tidak boleh. Kehadiran Islam, dengan ayat ini meluruskan tradisi yang salah itu. Pada saat haid, yang diajuhi bukan wanitanya, melainkan tempat keluarnya haid dari wanita.
Hal ini juga diperkuat hadits dari Aisyah, ada sosok laki-laki yang bertanya kepada Aisyah tentang apa yang boleh dilakukan istri yang sedang haid. Aisyah mengatakan, lakukan segala sesuatu kecuali Farj.
Kiai Aminudin menegaskan bahwa berdasarkan ayat di atas hukum asal hubungan seksual suami istri saat istri sedang haidh, dalam arti bertemunya alat vital suami istri adalah haram.
Namun, masih diperbolehkan melakukan hubungan, asalkan tidak bertemu kedua alat vital.
(Sadam Al-Ghifari/Nashih).