Keinginan kaum muslimin terutama para intelektual dan ulama mereka untuk dapat hidup dalam naungan Islam secara kaffah adalah suatu impian yang tak pernah padam. Bahkan hal itu merupakan tuntutan agama yang wajib dipenuhi.
Selama ini mereka hanya dapat mengimplementasikan ajaran agama di bidang-bidang tertentu saja seperti bidang ubudiyah, lalu ditambah sedikit budaya, sedikit politik dan sedikit lagi di bidang keuangan dan ekonomi.
Padahal Islam diturunkan kepada umat manusia sebagai hidayah atau huda atau petunjuk agar dipeluk secara kaffah sehingga terasa makna rahmatan lil alamin. Tanpa aplikasi yang kaffah tidak mungkin dapat dirasakan makna Isam sebagai rahmatan lil alamin. Karena kolonialisme Barat atas dunia Islam yang begitu lama, maka yang muncul ke permukaan hanyalah Islam parsial sehingga gambaran Islam yang kaffah tidak pernah mucul lagi selama ratusan tahun hingga hari ini.
Setelah perjuangan membebaskan diri dari penjajahan, maka kaum muslimin dapat mengatur agenda pembangunan untuk mengisi kemerdekaan tersebut. Salah satu agenda yang sudah cukup lama untuk dilaksanakan adalah menata sistem ekonomi sesuai dengan tuntutan Islam yang melarang riba, gharar, maysir, zhulm dan maksiat. Sejak itu, para pakar dan ulama mulai bahu membahu mewujudkan lembaga keuangan yang bebas dari hal-hal di atas.
Ketika lembaga-lembaga keuangan Islam ini mulai banyak tumbuh di negeri-negeri muslim bahkan juga di negara-negara non muslim, ada sekelompok kecil yang melihat hal itu dengan kaca mata hitam pekat. Kelompok ini tidak saja meragukan atas upaya penegakan ekonomi dan keuangan Islam, melainkan mendakwahkan ke sana kemari bahwa lembaga-lembaga keuangan Islam ini tidak pantas dilabeli Islam atau syariah.
Di mata kelompok kecil tersebut, substansi antara lembaga keuangan syariah dan konvensional, sama saja, tidak ada perbedaan asasi. Keduanya sama-sama tetap mengandung riba, gharar dan maysir. Dengan demikian seluruh upaya keras yang selama ini dilakukan oleh kaum Muslimin, para ulamanya serta kaum intelektualnya hanyalah upaya yang sia-sia bahkan bisa dikategorikan menipu Allah dan RasulNya, dan umat Islam secara keseluruhan.
Validkah Penilaian Tersebut?
Bagi penulis, penilaian itu terlihat sangat terburu-buru. Bagaimana mungkin tidak ada perbedaan antara lembaga keuangan syaraiah dan non syariah. Para ulama dan intelektual Muslim sudah sangat paham akan keharaman riba dan kawan-kawannya, bahkan mereka juga sudah merasakan mudharatnya bagi pelaku dan masyarakat yang membolehkan barang haram tersebut.
Karena itu, pada saat mereka memutuskan untuk mendirikan lembaga ekonomi dan keuangan Islam tujuannya adalah justru untuk menghindarkan diri dari riba, gharar, dan maysir? Pada saat memasang niat itu, para penggagas ekonomi dan keuangan syariah tentu sama sekali tidak terpikir untuk bermain-main dengan riba, gharar dan maysir yang jelas-jelas dilarang oleh ajaran Islam. Keharaman hal-hal di atas tidak perlu lagi diperdebatkan karena begitu jelas. Secara fikih keharaman hal-hal itu adalah ma’luum minad diin bidh-dharuurah.
Para pengkritik keuangan syariah ini sepertinya tidak berpikir bahwa penggagas lembaga keuangan Islam ini adalah para ulama, intelektual yang sangat paham tentang fikih muamalah dan detil-detil keuangan modern.
Akan tetapi kritik-kritik bahwa praktik-praktik di lembaga keuangan syariah terutama perbankan syariah yang dinilai melenceng dari nilai syariah, sudah terlanjur tersebar di publik. Akibat dari ini semua, masyarakat menjadi bingung. Situasi ini tentu tidak menguntungkan bagi perkembangan industri keuangan syariah yang tengah diupayakan oleh seluruh stake holder syariah di Indonesia.
Alih-alih saling menyalahkan, lebih baik kita fokuskan perhatian kita untuk mengurai kebingungan ini, agar umat tidak makin bingung.
Pertama, kita mesti tanamkan bahwa khilafiah (perbedaan) adalah hal biasa.
Kebingungan yang tengah melanda industri keuangan syariah di Indonesia belakangan ini muncul karena ada pengkritik yang mengatakan bahwa praktik-praktik di industri itu tidak sesuai dengan ketentuan syariah. Hal itu tampaknya terjadi karena mereka tidak terbiasa atau belum terbiasa dengan menyikapi khilafiah dalam kehidupan beragama terutama dalam konteks fikih muamalah.
Jika dikaji dengan teliti dan mendalam, sesungguhnya banyak sekali perbedaan pendapat di kalangan ulama dan fuqaha dalam banyak sekali persoalan fikih muamalah. Termasuk dalam akad-akad yang sudah sangat familiar, seperti ijarah dan lain-lain. Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab manumentalnya, alfiqh al-Islami wa adillatuh juz 4 halaman 730, dalam bab aqd al-iijar, bahwa fuqahaa` menyepakati keabsahan dan kesyariahan akad ijarah kecuali beberapa ulama seperti Abu Bakar al-‘Ashom, Ismail bin Aliyyah, Hasan Basri, Qosyasyi, Nahrawani dan Ibnu Kisan. Mereka ini berpendapat bahwa akad ijarah itu gharar karena ketika akan diselenggarakan, barangnya tidak ada atau tidak nyata sehingga menimbulkan ketidak pastian dan ketidak jelasan (gharar).
Namun perjalanan fikih muamalah pada hakekatnya mengikuti arah kebutuhan dan hajat kaum muslimin sehingga pandangan jumhur ulama tentang validitas dan keabsahan akad ijarah yang akhirnya berlaku dan kaum muslimin dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial, komersial, kultural dan politik mereka sehingga kehidupan menjadi nyaman, mudah dan elegan. Bayangkan apa yang akan berlaku jika yang terjadi adalah sebaliknya.
Inilah peradaban Islam di sepanjang sejarahnya. Sebuah peradaban yang berjalan penuh dengan inovasi dan kreatifitas di bidang fikih muamalah. Seperti ijarah, begitu juga berlaku pada akad-akad lainnya.
Kedua, kita bisa melihat dua kemungkinan kategorisasi para kritikus ini, yang pertama, mereka sangat paham seluk-beluk keuangan konvensional dan syariah sekaligus. Dengan kata lain, kita berhusnudhanbahwa pada diri mereka terkumpul pengetahuan yang mapan tentang keuangan moderen konvensional dan pada saat yang sama, sangat mendalam pengetahuan mereka dalam fikih muamalah maaliyah.
Kombinasi kemampuan seperti itu patut diragukan mengingat bahwa industri keuangan syariah ini pada dasarnya adalah fenomena baru bahkan untuk ukuran di masyarakat Timur Tengah sekalipun. Karena itu menemukan individu yang benar-benar menguasai dua bidang utama itu boleh dibilang sangat sulit.
Untuk menyimpulkan bahwa praktik keuangan syariah di Indonesia tidak syariah dibutuhkan skill dan competency keilmuan dan kepakaran yang lengkap. Karena dibutuhkan kompetensi di bidang fiqih muamalah maaaliyah dan pada saat yang sama memiliki pemahaman yang kuat tentang seluk beluk dan lika liku keuangan konvensional, dan itu yang agaknya masih sulit ditemui.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengkritik dalam kategori ini belum ada ditemukan. Biasanya mereka berasal dari kategori kedua yaitu mereka adalah sarjana syariah tapi sangat tidak memahami seluk beluk keuangan konvensional modern serta hukum perdata yang berlaku di mana lembaga keuangan syariah itu beroperasi. Akibatnya, secara ilmiah kritikan mereka itu tidak berdasar dan tidak mengena.
Ketiga, bahwa pengkritik tidak memahami seluk-beluk keuangan konvensional dan syariah ditambah kurang memahami fiqih muamalah.
Pengkritik ini biasanya baru masuk ke dalam industri keuangan dengan idealisme tertentu dalam pikirannya. Ketika mereka merasakan ada diskrepansi antara idealisme dengan apa yang mereka rasakan dalam industri, mereka mengkritiknya secara frontal. Dengan terburu-buru mereka menyimpulkan bahwa praktik keuangan syariah saat ini tidak sesuai dengan ketentuan syariah. Kesimpulan seperti ini jelas berbahaya bagi dirinya dan lembaga keuangan syariah karena didasarkan pada kebodohannya sendiri. Berbahaya bagi dirinya karena kebodohan tidak akan mengantarkan kepada kebenaran. Berbahaya bagi pihak lain karena kebeodohannya itu akan ditularkan kepada masyarakat sehingga mereka menjadi bingung dan tidak menentu.
Keraguan dan kebimbangan sebagian anggota masyarakat terkait dengan kesesuian syariah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia mungkin tidak akan dapat dihilangkan dalam jangka waktu pendek karena berbagai alasan yang sifatnya multidimensional. Hanya saja ada posisi yang menguntungkan dari kelompok mainstream yang menjadi pioner, penggagas dan pembela utama institusi ini secara legal formal sudah cukup mapan. Hal itu ditunjukkan dengan berbagai undang-undang yang sudah diloloskan oleh DPR RI ditambah dengan penjelasan Undang-undang dan Peraturan Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seperti UU No. 40 Tahun 2007 tentang Pereseroan Terbatas, UU no 21 tentang Perbankan Syariah, UU no 40 tahun 2014 tentang perasuransian, POJK no. 15 tahun 2015 tentang penerapan prinsip syariah di pasar modal dan lain-lain.
Keseluruhan undang-undang tersebut pada umumnya menjelaskan bahwa patokan kesesuaian syariah produk dan jasa serta operasional LKS di Indonesia adalah mengacu kepada fatwa MUI. Ini jelas telah membentuk suatu pola integral dalam industri keuangan syariah terkait dengan ketentuan syariah. Sehingga jika ada pihak-pihak tertentu yang menebarkan isyu ketidaksesuaian dengan prinsip syariah akan dengan mudah dilakukan tabayyun dan penegakan kebenaran.
Lewat artikel yang sederhana ini penulis mengharapkan kepada semua stake holder LKS untuk tetap bersemangat menumbuhkembangkan LKS yang kita yakini akan menebarkan Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bish-shawaab.