Oleh : Adiwarman A. Karim – Wakil Ketua DSN MUI
Wacana Pemerintah berupa imbauan untuk mengumpulkan zakat 2,5 persen dari PNS sebenarnya bukan hal baru.
Sejak 2014 telah diterbitkan Instruksi Presiden No.3 tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementrian/Lembaga, Sekretariat Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah melalui Baznas.
Namun, hasilnya memang masih jauh dari harapan.
Polemik yang ramai saat ini lebih disebabkan karena definisi PNS yang terbentang luas mulai dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi, dengan gaji dan tunjangan yang rentang keragamannya sangat tinggi.
Sebagian besar dari mereka masih harus berkutat dengan biaya hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Begitu pula dengan pegawai BUMN dan BUMD yang tercakup dalam Inpres tersebut.
Rentang keragaman penghasilannya sangat besar. Bagi mereka inilah wacana pemotongan langsung zakat terasa malah memberatkan.
Oleh karena itu, kebijakan publik ini harus dijabarkan dengan rinci agar dapat memenuhi tiga unsur. Pertama, unsur rasa keadilan. Kedua, unsur kearifan lokal. Ketiga, unsur melihat manfaat nyata dari dana yang dibayarkan.
Unsur rasa keadilan dapat dijabarkan dengan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap PNS berpenghasilan besar, berpenghasilan sedang, dan berpenghasilan kecil.
Bagi yang berpenghasilan besar, misalnya PNS eselon satu dan eselon dua, serta pegawai BUMN dan BUMD yang setara, dapat diterapkan wajib dipotong langsung 2,5 persen.
Bagi yang berpenghasilan sedang, sifatnya himbauan. Sedangkan bagi yang berpenghasilan kecil, dianjurkan sedekah saja.
Pemenuhan unsur ini dapat menimbulkan rasa harmonis pada lintas golongan penghasilan.
Kearifan Lokal
Unsur kearifan lokal sangat penting mengingat luasnya Indonesia dan keberagaman masyarakatnya.
Suatu hal yang dirasa tepat bagi satu daerah, belum tentu tepat pula bagi daerah lain. Unsur kearifan lokal dijabarkan dengan memberikan keleluasaan untuk menyesuaikan kebijakan nasional ini dengan kondisi masyarakat lokalnya masing-masing. Baik keleluasaan dalam mekanisme dan tata cara menghimpun dana, maupun dalam menentukan penggunaannya.
Unsur melihat manfaat nyata dari dana yang dibayarkan terbukti jadi unsur yang sangat penting bagi keberhasilan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam menghimpun dana.
Kejelasan peruntukkan penggunaan dana yang dikemas oleh LAZ dalam bentuk program-program, memberikan kenyamanan bagi para pembayar.
Selanjutnya, ketika para pembayar ini melihat wujud nyata dari penggunaanya, maka tingkat kepercayaan masyarakat meningkat terhadap LAZ tersebut. Mirip dengan konsep crowdfunding.
Kesuksesan membiayai suatu program dengan crowdfunding menjadi iklan yang sangat efektif untuk ikut membiayai program selanjutnya. Ada unsur ‘ketagihan’ untuk melakukan kebaikan dengan melihat langsung manfaatnya.
Ketiga unsur ini dapat diringkas menjadi standarisasi, fleksibilitas, dan kesaksian hasil nyata dapat dijadikan pedoman dalam menjabarkan wacana pemerintah memungut zakat dari PNS.
Ketiga unsur ini pula dapat dirasakan menjiwai isi Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3 tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan.
Fatwa ini muncul untuk menjawab polemik tentang zakat penghasilan dengan keragaman tafsiran tentang tiga hal. Pertama, status zakat profesi. Kedua, penghasilan dan nisabnya dihitung sebelum atau setelah biaya hidup. Ketiga, haul atau periode pembayaran zakat.
Tiga Standarisasi
Fatwa ini memberikan tiga standarisasi. Pertama, standarisasi pengertian penghasilan yaitu setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan maupun tidak rutin macam seperti dokter, pengacara, konsultan dan lain-lain.
Kedua, standarisasi nisab. Semua bentuk penghasilan halal, wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab dalam satu tahun, yakni senilai 85 gram emas.
Ketiga, standarisasi kadar zakat penghasilan adalah 2,5 persen.
Namun untuk waktu pembayarannya dan metode penghitungan dengan atau tanpa biaya hidup, fatwa ini memberikan fleksibilitas sesuai dengan kearifan lokal.
Pertama, zakat penghasilan dapat dikeluarkan jika sudah cukup nisab. Kedua, jika tidak mencapai nisab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab.
Ketentuan pertama cocok bagi yang berpenghasilan besar, ketika biaya pemenuhan kebutuhan dasar bukan merupakan porsi yang besar dari penghasilan. Itu sebabnya tidak digunakan istilah ‘penghasilan bersih’.
Walaupun standarisasinya zakat wajib dikeluarkan setelah satu tahun, tapi dalam ketentuan ini diberikan fleksibilitas ‘dapat’ dibayar pada saat menerima.
Ketentuan kedua cocok bagi yang berpenghasilan sedang, yakni ketika biaya pemenuhan kebutuhan dasar merupakan porsi yang besar dari penghasilan. Itu sebabnya digunakan istilah ‘penghasilan bersih’.
Ketentuan ini juga memberikan fleksibilitas masing-masing orang menghitung biaya hidupnya sehingga akhirnya dapat menghitung ‘pendapatan bersih’ selama setahun.
Sumber: CNN Indonesia