JAKARTA — Sebagai wujud kepedulian dan perhatian besar Majelis Ulama Indonesia terhadap bangsa, MUI kembali mengadakan press release terkait tiga masalah hukum dan kebangsaan pada Rabu (17/1) di Aula Buya Hamka, Jl Proklamasi 51, Menteng Jakarta Pusat.
Ketua MUI Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Buya Basri Bermanda menyebutkan tiga masalah tersebut antara lain tentang pencantuman kolom kepercayaan pada KTP-El, pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP yang baru saja diputuskan MK, dan pengujian UU No 1/1965 PNPS tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang tengah berlangsung di MK.
Menanggapi pertanyaan dari wartawan tentang usulan MUI untuk membuatkan KTP-El baru untuk para penganut kepercayaan, Sekretaris Jenderal MUI, Buya Anwar Abbas menegaskan bahwa pembuatan KTP-El yang baru dan berbeda bukan hal yang diskriminatif dan ini merupakan solusi tepat.
“Jika KTP-El yang telah beredar dengan 200 juta penduduk diganti baru lagi, akan ada kemubadziran anggaran sebesar 6 triliun, cukup membuatkan KTP-El khusus sekitar 300–400 ribuan, dan itu bukan sebuah diskriminasi, seperti perbedaan warna buku passport, ” ungkap Buya Anwar.
“MUI kecewa terhadap keputusan MK ini karena MUI tidak dilibatkan sebelum mengambil keputusan, “ tambah Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.
Merespon pertanyaan tentang perluasan makna dalam pasal-pasal kesusilaan, Buya Anwar mengatakan bahwa KUHP kita dibuat dalam masa penjajahan, sehingga pasal-pasal kesusilaan perlu diperluas agar sesuai dengan identitas Bangsa Indonesia.
“Ini tidak lain adalah untuk menjaga KUHP kita sesuai dengan ideologi dan konstitusi kita, Pancasila yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, “ imbuhnya.
Pasal-pasal kesusilaan dalam KUHP yang diusulkan perluasan makna agar mencakup semua manusia tidak dibatasi hanya kategori tertentu saja antara lain pasal perzinaan (Pasal 284), pasal perkosaan (Pasal 285), dan pasal pencabulan (Pasal 292). (Ichwan/Din).