Kiai Ma’ruf Amin: Fiqih Sosial Jadi Metode Mencari Solusi Kebangsaan
PATI/JAWA TENGAH – Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin menegaskan betapa fiqih sosial, atau fiqih kontekstual, dapat menjadi metode mencari solusi masalah-masalah kebangsaan. Hal ini, ditegaskan Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada kuliah umum “Pendekatan Nalar Ushul Fiqh dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, dalam rangka Haul Kiai Sahal Mahfudh dan Kiai Mahfudh bin Salam di Ma’had Aly Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah, Rabu (06/12/2017).
Agenda ini, dihadiri sesepuh pesantren Kajen, Rais Syuriah PCNU Pati, KH. Aniq Muhammadun, Ketua Rabithah Ma’ahid PBNU dan Pengasuh pesantren Maslakul Huda, KH. Abdul Ghaffar Rozien, M.Ed, dosen-dosen Institut Pesantren Mathaliul Falah (IPMAFA) dan perwakilan beberapa pesantren di Jawa Tengah.
Menurut Kiai Ma’ruf Amin, Kiai Sahal Mahfudh sangat berjasa besar dalam meletakkan pondasi kepemimpinan di Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia. “Pemimpin MUI dan NU yang sebenarnya itu Kiai Sahal Mahfudh, saya hanya penerusnya,” ungkap Kiai Ma’ruf Amin. Menurutnya, kepemimpinan Kiai Sahal sangat bagus dalam mengkompromikan imamah yang bisa mempersatukan mayoritas kelompok umat Islam.
“Selama ini, belum ada imamah syakhsyiyyah, yang ada imamah nahdliyyah, imamah Muhammadiyah, dan yang lain. Bagaimana mewujudkan Imam yang bisa mengkoordinasikan?
Maka ada Imamah institusionaliyyah, atau pemimpin kelembagaan,” jelas Rais ‘Am PBNU ini.
“Kiai Sahal yang memulai membangun imamah itu, yakni di Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia, saya hanya penerusnya,” terang beliau.
Di Indonesia, ungkap Kiai Ma’ruf Amin, ada dua arus besar dalam cara pandang umat Islam, yakni kelompok yang tekstualis dan liberal. “Kelompok tekstualis, disebut Imam al-Qarafi, sebagai ‘Al-jumud ala al-manqulat’. Terjebak pada teks yang statis, maka jadi stagnan,” jelas pengasuh pesantren di Tanara, Banten ini.
“Kelompok tekstual, ada stagnasi dan statis. Ini jika ada masalah yang tidak ada rujukannya di kitab kuning, maka mauquf. Maka terjadi kekosongan rujukan dalam berfatwa, atau mensikapi masalah,” jelasnya.
“Pada Munas Alim Ulama di Lampung, ada pendekatan fiqh manhaji. Ada pendekatan, al-jam’u wat-taufiq, jika ada pendekatan yang bertentangan, maka harus dikompromikan terlebih dahulu,” ungkap Ketua Umum MUI ini.
“Cara berpikir ulama NU tidak tekstual dan tidak liberal. Ini cara pendekatan para ulama yang bergulat dengan kajian ushul al-fiqh. Makharij al-fiqh, selanjutnya mencari makharij wathaniyyah,” jelasnya.
Kiai Ma’ruf Amin menjelaskan, bahwa pemimpin kita menggunakan pendekatan mitsaq al-madinah, perjanjian madinah. Ketika Nabi Muhammad membuat kesepakatan kehidupan damai dengan warga antar etnis dan agama.
“Negara kita bukan darul islam, bukan darul kufr (negara kafir), tapi daarul ‘ahd, negara kesepakatan. Maka, konteksnya hubungan antar agama, itu mu’ahadah, kesepakatan,” terang cucu Kiai Nawawi al-Bantani.
Pada Munas Alim Ulama di Situbondo, para kiai Nahdlatul Ulama memilih menggunakan metode al-jam’u wat taufiq, metode kompromi.
Nahdlatul Ulama memilih Pancasila dan Islam ahlus sunnah wal-jama’ah. Kedua hal ini tidak perlu dipertentangkan.
“Bung Karno itu pemimpin yang sah.Dengan metode tauliyyah, akad waliyyul amri. Bung Karno diangkat sebagai waliyyul amri ad-dharuri bis-syaukah. Bung Karno bukan dzu syaukah, tapi bi-syaukah. Artinya, beliau tidak punya cukup power, kekuasaan, tapi mendapat dukungan yang kuat dari kalangan politik dan militer,” jelas Kiai Ma’ruf Amin. Lebih lanjut, Rais ‘Am PBNU ini menambahkan, “Ketika itu Bung Karno sebagai pemimpin pada masa darurat, dengan dukungan dari politik dan militer.”
Mengenai perkembangan pesantren, Kiai Ma’ruf Amin mendorong santri menjadi aktor dalam perkembangan berbangsa dan bernegara, dalam bidang ekonomi, politik maupun birokrasi. “Pesantren harus memberi aktor, menjadi pusat, dalam perkembangan zaman sekarang. Santri harus aktif mencipta arus baru ekonomi bangsa. Ini yang dikembangkan RMI PBNU, di bawah kepemimpinan Gus Rozien, yang mendorong pesantren agar mandiri dan membangun lembaga ekonomi,” jelas Kiai Ma’ruf Amin.
KH. Abdul Ghaffar Rozien, Ketua RMI-PBNU dan Pengasuh Pesantren Maslakul Huda, menjelaskan bahwa sudah saatnya santri-santri bergerak dinamis. “Selama ini teks-teks pesantren hanya menjadi rujukan masalah keagamaan. Sudah saatnya, teks-teks dan metode ushul fiqh ini menjadi bagian penting untuk mencari solusi masalah-masalah kebangsaan, ini prinsipnya: tanzilun nushus ala al-waqi’. Santri harus aktif dan dinamis,” terang Gus Rozien.
Ma’had Aly Maslakul Huda Kajen Pati, berkonsentrasi pada pengembangan kajian ushul fiqh, sebagaimana warisan gagasan “fiqih sosial” dari Kiai Sahal Mahfudh. Selain itu, Pesantren Maslakul Huda juga membangun lembaga ekonomi serta unit-unit usaha untuk menunjang kemandirian pesantren (*).