Pontianak – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerjasama Internasional dan Hubungan Luar Negeri KH Muhyiddin Djunaidi menyampaikan materi mengenai pedoman bermualah dengan media sosial dalam Kegiatan literasi Media Berbasis Islam Wasathiyah yang ini diselenggarakan oleh Komisi Infokom MUI Pusat bekerjasama dengan Kementerian Kominfo di Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (28/10) kemarin.
Dalam paparan awalnya, KH Muhyiddin menyampaikan, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat longgar dalam melakukan proteksi terhadap media informasi terutama yang berbasis internet. Masyarakat Indonesia mudah sekali menggunakan media sosial untuk keperluan sehari-hari.
“Media sosial ini ada positif dan negatifnya. Semua tergantung bagaimana kita menggunakan,” katanya sambil menunjukkan smartphone di tanggannya kepada sekitar 100 anak muda yang hadir. Mereka berasal dai unsur MUI setempat, NU, Muhammadiyah, perguruan tinggi dan pesantren.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Hukum Dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial merupakan respon terhadap perkembangan tersebut.
“Bahwa kemudahan berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui media digital berbasis media sosial dapat mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia, seperti mempererat tali silaturahim, untuk kegiatan ekonomi, pendidikan dan kegiatan positif lainnya,” kata KH Muhyiddin mengutip konsideran fatwa tersebut.
Fatwa MUI NO24 tahun 2017 telah memberikan pedoman bahwa setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial wajib memperhatikan beberapa hal seperti senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan, mempererat ukhuwwah Islamiyyah, ukhuwwah wathaniyyah maupun ukhuwwah insaniyyah, serta memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah.
Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan, mencari-cari informasi tentang aib, gosip, kejelekan orang lain atau kelompok hukumnya haram kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.
Berikutnya, aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya.
KH Muhyiddin mengingatkan para pengguna media sosial untuk menahan diri dan tidak menyebarkan berbagai informasi yang beredar sebelum melakukan tabayyun atau klarifikasi. “Konten/informasi yang berasal dari media sosial memiliki kemungkinan benar dan salah,” ujarnya.
Dalam kegiatan itu para narasumber juga menyampaikan beberapa trik mengidentifikasi konten, gambar atau video yang mengandung hoaks.
Ditambahkan, jika pun konten atau informasi yang beredar sudah ditelusuri kepada pihak-pihak terkait dan dinyatakan benar, maka sebelum disebar harus dipastikan bahwa konten tersebut cocok disampaikan buat umat.
“Setelah dilakukan tabayyun dan sudah mendapatkan kepastian kebenaran informasi, harus diingat bahwa kyang benar belum tentu cocok untuk disampaikan kepada umat. Tidak semua kebenaran harus disampaikan,” kata KH Muhyiddin.
Sebaliknya, jika kebenaran tersebut dinilai bermanfaat untuk disebarkan kepada publik maka sampaikanlah kebenaran dengan cara yang tepat. “Sampaikanlah kebenaran dengan niat, cara, praktik yang baik dan benar,” pungkasnya. (Khoirul Anam)