Jakarta – Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis, menjelaskan pedoman tentang pedoman berdakwah di televisi bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Menurut Cholil bahwa televisi adalah frekuensi terbatas yang merupakan hak publik. Oleh sebab itu perlu distandarisasi seperti dilansir BBC.
“Yang mengisi di TV itu minimal sudah pernah mengikuti pelatihan atau pernah mengikuti standarisasi agar bisa tampil di televisi, karena frekuensi ini milik publik dan terbatas. Kita mesti memfasilitasi publik agar mendapatkan haknya terhadap frekuensi yang terbatas itu,” katanya seperti yang dilansir BBC (8/8/17).
Kriteria tersebut akan berpedoman pada Pedoman Dakwah yang salah satunya menyebutkan seseorang yang menyampaikan dakwah secara umum bukan hanya di televisi harus memiliki wawasan yang luas.
“Misalnya bicara tentang khilafiah harus dari berbagai pandangan, jadi orang yang mendengar bisa memilik, tidak boleh juga mencaci pilihan seseorang,” tambah Kiai Cholil.
MUI, menurut cholil, hanya memperhatikan masalah konten sementara KPI berwenang memberikan tindakan pada lembaga penyiaran.
“KPI bisa mencabut menegur, dan melakukan tindakan terhadap pengelola. Sedangkan MUI dapat mensupport dari sisi konten dan memberikan pembinaan terhadap pengisi di televisi itu.”
Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, mengatakan pedoman itu akan mengatur agar materi ceramah di televisi tidak menimbulkan kontroversi.
“Kita punya wacana ke depan untuk menertibkan hal ini (kontroversi) dengan menggandeng MUI dan Kemenag terutama tentang substansi dari dakwah itu sendiri. Kalau KPI sendirian tidak sesuai dengan tafsir yang benar dan akan jadi resisten. Indonesia kan sangat plural, bisa jadi satu tafsir bisa berbeda dari kelompok masyarakat. Kita tak ingin melakukan teguran atau penghentian sementara, nanti malah muncul reaksi lagi dari masyarakat,” kata Dewi.
Menanggapi kontroversi yang timbul dari beberapa ceramah agama, Kiai Cholil, menjelaskan perlunya standarisasi para penceramah yang dapat memberikan materi di tingkat lokal, nasional, dan international.
Da`i pada tingkat lokal, menurut Kiai Cholil, cukup dengan bacaannya yang fasih, aqidah yang lurus, dan mengerti kondisi pada masyarakat tertentu.
“Pada tingkat nasional, para da`i sudah dituntut untuk mengerti paradigma yang lebih luas, hubungan agama dengan negara, sosial, ekonomi, dan bijak mengetahui perbedaan faham dalam keagamaan kita. Sedangkan da`i international diharapkan menguasai bahasa inggris dan pengetahuan Global,” tambah dosen ekonomi Islam UIN Jakarta ini. (Ichwan)