Panitia Pelaksana Ijtima Ulama ke-5 Komisi Fatwa MUI se-Indonesia kembali menjaring pendapat melalui acara FGD (Focus Group Discussion), Senin (11/5/2015) di ruang pertemuan MUI, Jakarta. FGD yang diikuti para pakar dan praktisi hukum Islam ini membahas topik khusus hak pemeliharaan anak (hadhanah) akibat perceraian dari perkawinan beda agama.
Ketua MUI Dr. KH. Makruf Amien yang membuka acara menegaskan, sudah lama umat Islam ditekan agar menerima usul perbolehan nikah beda agama. “Tapi itu tetap kita tolak, karena nikah beda agama memang tidak boleh,” katanya. Demikian pula, secara syariat tidak dibolehkan menyerahkan hadhanah anak kepada orang tua beda agama.
Dasar tidak dibolehkannya nikah agama, menurut Kyai Makruf, justru karena melihat buruknya akibat dari perbuatan yang menyebabkan anak menjadi nonmuslim tersebut. Karena itu, betapa pun kuatnya reaksi dari para pendukung nikah beda agama, “kita perlu menyampaikan pendapat sebagai bagian dari perjuangan.”
Dr. Asrorun Ni’am dari Panitia Pelaksana Ijtima Ulama ke-5 sekaligus Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan, pertemuan para ulama fatwa di Tegal pada Juni nanti memang akan membahas isu hak pemeliharaan anak akibat perceraian dari perkawinan beda agama tadi. Pasalnya, Undang-Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pegangan para hakim agama belum mengurai secara rinci ihwal hadhanah, sehingga hal ini menjadi isu publik.
Banyak masukan disampaikan para peserta FGD kali ini. Di antaranya, usulan agar KHI yang diterbitkan pada 1991 ditingkatkan kedudukannya sebagai undang-undang. KHI yang memuat kompilasi hukum perkawinan, pewarisan, dan wakaf, sudah tidak memadai lagi. Salah satu pasal KHI dinilai malah memberi peluang pelaksanaan nikah beda agama. Bahkan dalam soal hadhanah pun, KHI tidak selengkap peraturan yang ditetapkan dalam kitab-kitab fiqih.