Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengirim Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Tolikara, ke lokasi peristiwa Papua, pada 11-15 Agustus lalu. Hasilnya telah dilaporkan dan dibahas dalam rapat pimpinan MUI, Selasa 18 Agustus. Tim Pencari Fakta MUI yang terjun ke lapangan dipimpin langsung oleh Jenderal Anton Tabah sebagai upaya mengungkap fakta sebenarnya terkait kasus penyerangan GIDI terhadap umat Islam pada Idul Fitri lalu.
Setelah menemui para tokoh dari kalangan adat, Islam, Kristen, pemuda, dan tokoh pemerintahan, TPF menemukan data sangat berharga. Salah satunya, ternyata rumah-rumah kios dan Masjid Baitul Muttaqin yang dibakar oleh gerombolan GIDI memiliki sertifikat tanah, yang menunjukkan tanah dan bangunan itu resmi milik umat Islam Tolikara.
“Dengan surat-surat yang kuat secara adat maupun hukum itu, tak ada alasan bagi kita untuk tidak membangun kembali rumah-rumah kios dan Masjid Baitul Muttaqin yang dibakar tersebut,” kata Jenderal Anton Tabah. Saat ini, pembangunan Masjid Baitul Muttaqin di lokasi semula sudah berjalan empat puluh persen. Ini akan dilanjutkan dengan pembangunan kembali rumah-rumah kios. “Tak ada yang berhak melarang pembangunan ini,” tegasnya.
Menurut pendapat tim TPF MUI, kasus Tolikara hendaknya ditangani secara hukum dengan pendekatan hukum pidana. “Tak usah ditangani dengan pendekatan HAM, karena ancaman pidananya tidak ada, dan bila itu dianggap pelanggaran HAM berat, kasusnya harus disidang di Belanda,” jelas Anton, anggota Komisi Hukum MUI Pusat.
Saat ini, Pola Papua selain menahan dua tersangka, juga sudah memeriksa Presiden GIDI, ketua serta sekretaris GIDI Tolikara. MUI berharap, kasus Tolikara segera disidangkan. Ancaman pidana kasus Tolikara cukup berat, di atas lima tahun, dengan mengakomodir KUHP pasal 55, 156A, 169, 170, 175, Yo pasal 53, 106, 108, 110, 111.