Jakarta, Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat bekerja sama dengan MUI Kota Administrasi Jakarta Pusat mengadakan Silaturahim dan Halaqah Dakwah dengan tema “Urgensi Peran Dai dan Dewan Kemakmuran Masjid dalam menjaga ukhuwah di tahun politik.” Acara ini dihadiri oleh 100 dai dan berlangsung di Aula Serbaguna Walikota Jakarta Pusat. Acara dibuka oleh Wakil Walikota, Chaidir, M.Si.
Dalam acara tersebut, hadir KH. M. Cholil Nafis, Lc., MA, Ph.D, Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI Pusat, KH. Ahmad Zubaidi, MA, Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, Halman Muhdar, Ketua Bawaslu Jakarta Pusat, dan Irjen Pol (Purn) Ir. Hamli, M.Si.
Kyai Cholil dalam paparannya menyampaikan bahwa kunci menjaga perdamaian di tahun politik ini adalah dengan memprioritaskan moralitas dalam berpolitik bagi para politisi dan pendukungnya. “Dengan memiliki akhlaqul karimah, siapapun yang terlibat dalam politik akan memiliki pedoman universal untuk mengendalikan hasrat politiknya, sehingga berpolitik bukan hanya sekedar mencapai tujuan, tetapi melalui proses yang luhur,” jelas Kyai Cholil.
Kyai Cholil juga menekankan, “Terkait preferensi politik, seseorang dapat memilih berdasarkan selera masing-masing, mungkin karena kesamaan suku, agama, ras, atau alasan lainnya yang melibatkan emosi.
Namun yang terpenting adalah bagaimana kita tetap saling menghargai dan menghormati satu sama lain.” Oleh karena itu, menurut Kyai Cholil, hasrat politik tidak boleh mengabaikan individu di ranah publik yang menjadi simbol persatuan. Hal ini berarti ada tempat-tempat tertentu yang tidak boleh digunakan untuk kampanye atau mendukung calon atau pasangan calon, seperti masjid dan tempat ibadah lainnya.
“Jika masjid digunakan untuk politik praktis, misalnya hanya untuk kampanye calon presiden X, maka dapat dipastikan jamaahnya akan terpecah belah,” tegas Kyai Cholil.
Menurut Kyai Cholil, jika masjid digunakan untuk kepentingan politik, yang dimaksud adalah politik kebangsaan dan keadaban, yaitu politik yang bertujuan mempersatukan umat. Hal ini mencerminkan nilai-nilai politik yang luhur dan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia.
Sementara itu, Kyai Zubaidi, dalam kesempatan yang sama menekankan pentingnya bagi para dai dan pengurus masjid untuk lebih mengutamakan persatuan dan ukhuwah umat, dan tidak terjebak dalam hasrat politik yang tinggi sehingga terlibat dalam politik praktis.
Menurut Kyai Zubaidi, masjid dan dai adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, kesadaran untuk memainkan peran masing-masing dalam menjaga persatuan umat sangatlah penting, agar meskipun situasi politik memanas, ukhuwah umat tetap terjaga. Kyai Zubaidi menegaskan,
“Oleh karena itu, tempat ibadah sebaiknya bebas dari politik praktis. Hal ini dikarenakan preferensi politik umat yang beragam, sehingga tempat ibadah harus menjadi tempat yang luas dan nyaman bagi umat, tanpa adanya pengaruh politik yang mengganggu,” ujarnya
Kyai Zubaidi juga menyatakan bahwa perbedaan preferensi politik adalah hal yang wajar, dan oleh karena itu para dai harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa perbedaan tersebut tidak berdampak pada keyakinan agama mereka. Oleh karena itu, para dai harus terus menghidupkan semangat ukhuwah, kehangatan, dan kedamaian.
“Untuk menjaga DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) dan para dai tetap dalam jalur dakwah yang benar, mereka harus memahami konsep dakwah Islam Wasathiyah, yaitu dakwah yang mengedepankan keseimbangan, solusi, dan dilakukan dengan cara yang santun,” tegas Kyai Zubaidi.
Di sisi lain, Irjen Pol (Purn) Hamli mengingatkan para peserta tentang bahaya gerakan ekstremisme yang dapat menyebabkan kerusuhan di tengah situasi politik yang memanas.
“Gerakan ekstremisme tidak akan berhenti selama ideologi tersebut masih hidup di masyarakat, dan saat masyarakat terpecah-belah, gerakan ekstremisme akan memanfaatkannya untuk mencapai tujuan mereka,” jelas Pak Hamli.
Lebih lanjut, Pak Hamli menegaskan bahwa gerakan ekstremisme terus berlanjut karena diberdayakan oleh keyakinan agama yang mengidealisasikan keindahan setelah kematian melalui apa yang mereka anggap sebagai jihad, padahal sebenarnya merupakan tindakan terorisme.
“Para teroris akan memanfaatkan situasi kacau untuk menambah kekacauan dan menimbulkan rasa takut, karena dengan demikian mereka berharap tujuan mereka tercapai,” jelas Pak Hamli.
Oleh karena itu, Pak Hamli mengingatkan agar semua pihak tetap waspada terhadap ancaman tersebut.
Acara Silaturahim dan Halaqah Dakwah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya moralitas dan persatuan dalam dunia politik, terutama di tahun politik yang penuh dengan dinamika. Komisi Dakwah MUI Pusat mengajak para politisi, dai, dan pengurus masjid untuk menjaga moralitas dalam menjalankan aktivitas politik, serta tetap mengutamakan ukhuwah dan persatuan umat di atas perbedaan politik yang ada.
(Junaidi, ed : Syukri)