JAKARTA— Berbagai elemen masyarakat berusaha melakukan pendidikan politik untuk mencegah gesekan akibat naiknya tensi jelang tahun politik, sebagaimana halnya dilakukan Majelis Ulama Indonesia Kota Administrasi Jakarta Utara pada Selasa (13/6/2023) dengan mengadakan acara Silaturahim dan Halaqah Dakwah Dai dan Dewan Kemakmuran Masjid mengambil tema Urgensi Peran Dai dan DKM Masjid dalam Membangun Ukhuwah di Tahun Politik. Acara ini diikuti lebih dari 100 dai-daiyah dan pengurus masjid se Jakarta Utara.
Dalam kegiatan ini mengundang narasumber dari MUI, yaitu KH M Cholil Nafis PhD Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, KH Ahmad Zubaidi, MA Ketua Komisi Dakwah MUI, dan Irjen Pol (Purn) Ir Hamli, MSi, Pengurus Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme MUI Pusat). Acara dilangsungkan di Kantor Wali Kota Jakarta Utara dan dihadiri juga oleh Wakil Wali Kota Jakarta Utara Ir Juaini, MM.
Dalam paparannya, Kiai Cholil Nafis mengatakan bahwa kunci damai di tahun politik ini adalah kalau masyarakat dapat membangun ukhuwah holistik.
“Ukhuwah Holistik adalah ukhuwah antarwarga bangsa dengan tidak mengenal sekat-sekat primordial baik karena suku, ras maupun agama atau preferensi politik,” jelas Kiai Cholil.
“Dengan ukhuwah holistik maka sungguh pun ada perhelatan politik, persatuan dan kesatuan dapat terjaga, karena masyarakat sudah memahami bahwa persaudaraan adalah di atas segala-galanya,” kata Kiai Cholil menambahkan.
Kiai Cholil menyatakan terkait preferensi politik, orang dapat memilih berdasar selera masing-masing, mungkin karena kesamaan suku, agama, ras atau hal-hal lain karena adanya pertemuan emosi, tetapi yang terpenting adalah bagaimana satu sama lain tetap saling menghargai dan menghormati.
Karena itu, Kiai Cholil mengingatkan hasrat politik jangan sampai melupakan seseorang pada ranah-ranah publik yang menjadi simbol pemersatu. Artinya ada tempat tertentu yang tidak boleh digunakan untuk kampanye atau untuk mendukung salah satu calon atau pasangan calon, contohnya masjid dan tempat ibadah lainnya.
Sementara itu, Kiai Zubaidi, sebagai narsum kedua, menekankan pentingnya para dai-daiyah dan pengurus masjid memperhatikan metode dakwahnya di tahun politik ini.
“Dai-daiyah menempati tempat yang strategis sebagai influencer, karena para dai-daiyah lah yang dapat berbicara di depan umat baik melalui mimbar formal ataupun ceramah-ceramah umum lainnya,” kata Kiai Zubaidi.
Dia menjelaskan sebagai influencer, dai-daiyah dapat membangun image dan persepsi masyarakat tentang isu tertentu dan bahkan dapat menggerakkan masyarakat untuk berbuat apa atas dasar keyakinan yang dibangun para influencer.
Karena itu, Kiai Zubaidi mengajak hendaknya para dai-daiyah mendakwahkan hal-hal yang mendorong semakin kuatnya beragama dan membangun persatuan dan kesatuan di tengah banyaknya perbedaan.
Dia menyebut adanya perbedaan preferensi politik adalah sebuah keniscayaan, untuk itu para dai-daiyah harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa perbedaan preferensi politik tidaklah berpengaruh kepada keyakinannya, dai harus terus menggelorakan semangat ukhuwah, kesejukan dan kedamaian.
Sementara itu Irjen Pol (Purn) Hamli, mengingatkan para peserta akan bahaya gerakan ektremisme yang dapat membuat kekacauan di tengah panasnya situasi politik.
“Gerakan ektremisme tidak akan berhenti selama ideologinya masih terus hidup di tengah-tengah masyarakat, dan di saat-saat masyarakat dalam keterbelahan, maka ektremisme ini akan memanfaatkannya untuk mencapai tujuannya,” kata Hamli.
Dia menegaskan gerakan ektremisme ini terus hidup karena disemangati keyakinan keagamaan tentang keindahan pasca kematian dari sebab yang dianggapnya sebagai jihad, padahal tindakan terorisme.
“Dan para teroris akan memanfaat situasi kacau untuk menambah kekacauan dan ketakutan karena dengan itu para ektremis berharap tujuannya tercapai,” kata Hamli sembari mengingatkan agar semua pihak waspada. (Junaidi, ed: Nashih)