JAKARTA— Wakaf produktif dapat mewujudkan masjid yang mandiri dan bahkan dapat mensejahterakan jamaah.
Komisioner Badan Wakaf Indonesia (BWI), Kiai Ahmad Zubaidi, menyebutkan, yang dimaksud masjid madiri adalah masjid yang memiliki pemasukan dan dapat membiayai operasional masjid baik untuk kepentingan idarah, imarah, dan ri’ayah.
Dengan masjid mandiri maka masjid tidak lagi bergantung kepada infak dan sedekah jamaah, sungguhpun menurut Kiai Zubadi bukan berarti infak dan sedekah tidak penting.
“Infak dan sedekah jamaah tetap ditampung untuk pengembangan kesejahteraan jamaah,” kata dia dalam keterangannya kepada MUIDigital, Jumat (9/6/2023).
Hal itu dia sampaikan dalam acara penyuluhan hukum wakaf yang diselenggarakan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) bekerjasama dengan Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Aula Buya hamka Gedung MUI Pusat pada 6 Juni 2023 lalu.
Menurut Kiai Zubaidi, salah satu cara menjadikan masjid mandiri adalah dengan menggalakkan wakaf produktif. Banyak masjid-masjid kita memiliki lahan yang masih cukup luas di sekitaran masjid, lahan-lahan ini dapat diproduktifkan, bisa untuk membuat lahan parkir jamah, parkir berbayar bagi masyarakat yang tidak punya lahan parkir, atau dibuat lapak-lapak untuk UMKM, atau masjid itu sendiri membuat semacam mart.
“Juga, lembaga masjid dapat didaftarkan sebagai nazhir wakaf uang dengan mengajukan pendaftaran ke BWI, tentu dengan persyaratan yang harus dipenuhi,” jelasnya.
Kiai Zubaidi juga menjelaskan dengan lembaga masjid menjadi nazhir wakaf uang, maka masjid dapat mengumpulkan wakaf uang dari jamaah, kalau gerakan wakaf uang dimasifkan maka masjid akan dapat menampung wakaf uang yang banyak, dari sinilah wakaf uang diinvestasikan di lembaga keuangan syariah, misalnya sukuk yang returnnya cukup lumayan bisa sampai 6 persen pertahun dan ini bukan riba.
Dirinya sering mendengar ada masjid yang mengumpulkan wakaf uang, tetapi ternyata belum paham apa itu wakaf uang dan bagaimana cara mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf uang, sehingga menginvestasikannya pada hal-hal yang berisiko hilangnya harta benda wakaf.
Padahal, kata dia, telah diatur dalam UU wakaf dan peratutran bwi bahwa pengnvestasian wakaf uang adalah di lembaga keuangan syariah, atau kalaupun diinvestasikan sendiri oleh usaha yang dikelola nazhir, maka harus dijamin asuransi agar kalau terjadi wanprestasi masih ada yang mengkovernya.
Kiai Zubaidi juga mengimbau agar para pengurus masjid dan juga dai memahami peristilahan dalam perwakafan kontemporer, seperti istilah wakaf uang dan wakaf melalui uang.
“Wakaf uang adalah wakaf berupa uang yang dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf alaih dan penerimaan wakaf uang hanya melalui rekening wakaf uang atas nama nazhir yang dilaporkan kepada BWI, tidak sembarang nazhir,” kata dia.
Dia melanjutkan, yang disebut wakaf melalui uang adalah wakaf dengan memberikan uang untuk membeli atau mengadakan harta benda tidak bergerak atau harta benda bergerak sesuai yang dikehendaki wakif untuk dikelola secara produktif atau sosial.
“Adanya pembedaan istilah ini terdapat dalam peraturan BWI Nomor 1 tahun 2020 tentang Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf, dan perlu dibedakan karena adanya beda perlakukan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda Wakafnya,“ kata dia. (Mita, ed: Nashih)