JAKARTA— Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara soal maraknya kasus pencurian uang di Tasikmalaya yang dianggap dilakukan jin tuyul.
MUI mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu merasa khawatir secara berlebihan atas kejadian tersebut yang dianggap dilakukan oleh jin tuyul.
“Dalam keyakinan umat Islam bahwa jin itu ada, tetapi tidak (boleh) untuk digunakan kejahatan,” kata Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis saat diwawancarai oleh MUIDigital, di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (6/6/2023).
Kiai Cholil menjelaskan, dalam Islam, jin dikenal ada yang Muslim dan non Muslim. Bahkan, kerap kali ada orang yang mau berkolaborasi dengan jin, termasuk dengan tuyul yang dulu dikenal dengan sebutan setan gundul.
“Kalau dulu saya pernah baca-baca sebelum era 90-an, era pada abad ke-18 belum dikenal tuyul tapi setan gundul. Artinya makhluk halus yang berbuat jahat, bahkan diasumsikan mengambil harta orang lain,” ungkapnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah ini berpesan agar orang yang bermain dengan tuyul untuk mencuri agar segera berhenti. Pasalnya, perbuatan tersebut hukumnya haram, dan akan mendapatkan dosa serta siksaan dari Allah SWT.
“Jadi ya kita menjaga diri dan harta kita pada Allah dengan dibacakan Alquran, tidak usah datang ke dukun juga, biasanya rumah yang sering dibacakan Alquran, makhluk halus yang jahat tidak akan masuk ke rumah kita,” kata dia.
Sementara itu fatwa MUI Nomor: 2/MUNAS VII/MUI/6/2005 Tentang Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah) menegaskan keharaman praktik perdukunan.
Fatwa tersebut diputuskan pada saat Munas MUI ke-7 di Jakarta pada 28 Juli 2005 M yang ditandangani oleh ketua komisi fatwa saat itu, KH Maruf Amin dan Drs Hasanuddin, MAg selaku sekretarisnya. Dalam fatwa tersebut memutuskan :
- Segala bentuk praktik perdukunan (kahanah)// dan peramalan
(‘iraafah) hukumnya haram - Mempublikasikan praktik perdukunan (kahanah) dan peramalan
(‘iraafah) dalam bentuk apapun hukumnya haram - Memanfaatkan, menggunakan dan/atau mempercayai segala
praktik perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah)
hukumnya haram.
Fatwa tersebut diharapkan dapat menjaga kemurnian tauhid dan menghindarkan masyarakat dari aktivitas yang dapat membawa pada kemusyrikan, serta dapat untuk dijadikan pedoman oleh seluruh umat.
Selain dari fatwa yang dikeluarkan MUI, penghukuman haram bagi orang-orang yang pergi ke dukun dan peramal juga telah ditegaskan Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 48 :
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.”
Sementara itu, dalil pelarangan yang berasal dari hadits Nabi SAW adalah sebagai berikut:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً “Orang yang mendatangi tukang ramal (paranormal) kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 malam.” (Hadis Riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad dari sebagian istri Nabi [Hafshah]).
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian membenarkan apa yang dikatakannya maka orang tersebut telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW.” (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan al-Hakim dari Abu Hurairah) (Sadam/ Dhea Oktaviana, ed: Nashih).