JAKARTA— Sekretaris Jenderal MUI, Buya Amirsyah Tambunan menyampaikan 5 usulan terkait persaingan usaha pada Komisi Pewangas Persaingan Usaha (KPPU).
Hal ini disampaikannya pada Seminar “Sosialisasi Fiqih Persaingan Usaha dan UU Nomor 5 Tahun 1999, tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”, yang diselenggarakan Komisi Infokom MUI bekerja sama dengan KPPU, Rabu (1/3/2023).
“Dalam kondisi persaingan usaha, saya ingin mengusulkan pertama, sekaligus merekomendasikan bahwa sengketa yang ada di persaingan usaha, saya usulkan dilakukannya Pengadilan Ad Hoc,” ujar dia.
Menurutnya, Pengadilan Ad Hoc ini penting karena ternyata kasus-kasus yang sampai ke KPPU itu sebatas rekomendasi, dalam arti dilakukan pengadilan oleh pihak-pihak yang sudah diberikan kewenangan.
“Tapi kalua kita dibuat Pengadilan Ad Hoc, saya yakin akan diberikan kewenangan yang lebih kuat ke KPPU,” terangnya.
Sekjen MUI ini menceritakan salah satu contoh kasus yang jamak terjadi. Yaitu banyak petani yang menjerit, sebab hasil panennya tidak sebanding dengan ongkos yang dikeluarkan, karena harga pasarnya dikuasai tengkulak. Maka dari itu, KPPU dan pemerintah harus mampu melakukan pengawasan.
Usulan kedua, yaitu penguatan literasi, sosialisasi, dan edukasi. Dia mengatakan bahwa persoalan hukum seperti pengadilan sengketa oleh KPPU merupakan jalan akhir. Akan lebih efektif jika masyarakat kuat dalam literasi, sosialisasi, dan edukasi. Inilah peran dari fikih persaingan usaha.
“Karena di sinilah peran dari fikih persaingan usaha, karena fikih itu pada hakikatnya adalah memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran,” paparnya.
Berbicara tentang kesadaran, Buya Amirsyah mengutip nasihat KH Ali Yafie, Ketum MUI Pusat 1990-2000, yaitu “Kita harus sadar diri, kita harus tahu diri, dan kita harus tahu menempatkan diri.”
“Jadi, kalau pengusaha-pengusaha besar sadar diri, tahu diri, dan tahu menempatkan diri bahwa dia hidup di NKRI, maka saya yakin dia akan melakukan persaingan usaha secara sehat,” imbuhnya.
Kesadaran ini juga, kata dia, akan menghilangkan kesenjangan antara pengusaha besar, menengah, dan pengusaha kecil.
Ketiga, Indonesia yang dikarunia Allah SWT dengan kekuatan sumber daya manusia (human capital) dan sumber daya yang ada di masyarakat (social capital), harus dikapitalisasi dengan baik untuk menciptakan kondisi usaha yang sehat.
“Artinya kondisi usaha yang sehat, bersaing secara sehat, baik social capital atau //human capital harus kita bangun bersama-sama, supaya lahir ta’awun, kerja sama,” kata dia.
Keempat, menumbuhkan persaingan usaha yang berlandaskan tolong-menolong (ta’awun).
Kelima, Buya Amirsyah mengusulkan bagi seluruh masyarakat, terutama pelaku usaha, agar jangan sampai ada diskriminasi di kalangan persaingan usaha, atau yang disebut radikalisme usaha.
“Jangan ada radikalisme usaha, yaitu menabrak dan memonopoli aturan untuk memperkaya pengusaha sendiri,” tegasnya.
“Karena radikalisme itu adalah perubahan radikal yang menabrak aturan dan ketentuan, yang merugikan orang lain dan menguntungkan sepihak,” kata dia menambahkan.
Selain menyampaikan lima usulan, Buya Amirsyah juga menyampaikan beberapa pesan Alquran berkenaan dengan perniagaan dan persaingan usaha.
Di antaranya, bahwa harta jangan sampai berputar pada orang tertentu (orang kaya) saja. Maka, penting untuk melakukan persaingan usaha secara sehat dan mencegah praktik monopoli. (Shafira Amalia, ed: Nashih)