JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan menyampaikan duka yang mendalam atas wafatnya Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam PBNU 1991-1992 KH. Ali Yafie yang meninggal dunia pada hari ini, Sabtu (25/2) malam.
“Ada sebuah ungkapan bahwa seorang tokoh lahir pada zamannya, sebaliknya pada zamannya lahir seorang tokoh,” ujarnya.
Buya Amirsyah mengatakan bahwa KH Ali Ya’fie pada zamannya telah memberikan nasehat yang tepat kepada kepala negara di kala itu. Saat Soeharto merapuh di ujung orde baru, dengan tegas, santun, dan penuh hikmah Ali Ya’fie mengarahkan Soeharto mundur sebagai Presiden RI.
“Bagi saya, paling tidak ada dua hal yang menonjol dalam sosok Ali Yafie. Pertama, ia dilahirkan di tahun istimewa karena pada tahun itu pula Nahdlatul Ulama didirikan”, ungkap Buya Amirsyah.
Ali Yafie dilahirkan di Donggala, Sulawesi Tengah pada 1 September 1926 atau 23 Safar 1345. Pada bulan ketika Ali Yafie dilahirkan itu, muktamar NU pertama diselenggarakan.
Di tahun ini pula, lahir seseorang yang kelak menjadi Rais ‘Aam NU yang saat meninggal kedudukannya digantikan Ali Yafie, yaitu K.H. Achmad Shiddiq (1926-1991).
“Bagi orang NU, tahun 1926 memang tahun istimewa,” jelasnya.
Karel A. Steenbrink, Indonesianis senior asal Belanda, mencatat bahwa saat Ali Yafie dilahirkan, banyak terjadi peristiwa penting di Hindia Belanda.
Kedua, lanjut Buya Amirsyah, KH Ali Yafie adalah tokoh MUI yang teguh pendirian untuk memandu umat dan bangsa dan menghadapi setiap ujian dan tantangan.
“Beliau adalah tokoh senior di Nahdlatul Ulama sejak beliau menjadi Rais Aam kemudian Rais Aam diteruskan oleh Kiai Sahal Mahfudz. Kedua tokoh yang sangat fakih sudah kembali kehadirat Allah semoga husnul khotimah,” papar Sekjen MUI pusat ini.
Selain itu, Buya Amirsyah juga mengatakan bahwa KH Ali Yafie memiliki pemikiran yang relevan. Ali Ya’fie menggagas fiqih lingkungan.
Menurut Ali Yafie, jika selama ini ada lima komponen hidup yang harus dipelihara oleh seluruh manusia yakni hifdzul nafs (menjaga jiwa), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul maal (menjaga harta), hifdzul nasl (menjaga keturunan) dan hifdzud diin (menjaga agama). Sekarang ini, ada hal yang menjadi masalah besar dan harus diberi tempat perkembangannya, yaitu kerusakan lingkungan hidup.
“Jadi kalau kita dalam kaidah mengatakan perlu ada hifdzul nafs atau hifdzud diin, maka sekarang ini patut kita masukkan ke dasar agama adalah hifdzul bi-ah (memelihara lingkungan hidup),” terang Buya menyampaikan pemikiran Ali Yafie.
“Hal ini sangat relevan dangan terjadinya pemanasan global yang mengancam jiwa dan keselamatan umat manusia. Mari kita lestarikan lingkungan demi anak cucu kita,” pungkasnya.
(Shafira Amalia/Angga)