Haid adalah siklus bulanan, maka perempuan ada kalanya mengalami haid saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Dalam kondisi ini, mayoritas ulama menyetujui bahwa perempuan yang sedang haid tidak diperbolehkan untuk berpuasa, karena salah satu syarat sah nya puasa adalah bersih/suci dari haid dan nifas.
Perempuan yang meninggalkan puasa karena haid, wajib hukumnya mengqadha puasa sebanyak jumlah puasa yang dia tinggalkan
Lalu bagaimana dengan perempuan yang belum mengqadha puasa yang ia tinggalkan? Entah karena lupa atau baru mengetahui hukum wajib qadha puasa?
Waktu pelaksanaan qadha puasa adalah sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya, artinya perempuan memiliki waktu satu tahun yang sangat cukup untuk menggantikan puasa yang ia tinggalkan.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada saja yang belum sempat mengganti qadha puasanya baik karena ada halangan maupun karena apatis dan lalai, sehingga qadha puasanya terus tertunda hingga dating Ramadhan berikutnya.
Dalam konteks ini, hukum meninggalkan atau lalai melaksanakn qadha puasa adalah haram, jika tidak dibarengi dengan adanya udzur syar’i, seperti sakit berkepanjangan, tidak sengaja lupa, atau memang belum mengetahui hukum mengqadha puasa. Ulama juga berbeda pendapat dalam menjawab persoalan ini.
Pendapat ulama yang pertama adalah bagi yang sengaja meninggalkan qadha puasa maka berdosa, ia tetap tidak kehilangan kewajiban melaksanakan qadha puasa, dan juga ditambah dengan kewajiban berfidyah, yakni 1 mud/hari atau setara 543 gram menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran dengan 815,39 gram bahan makanan pokok seperti beras dan gandum.
Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja menjelaskan, apakah ketidaksempatan qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba itu disebabkan karena sakit, lupa, atau memang kelalaian menunda-nunda.
Jikalau memang disebabkan karena kelalaian, tentu yang bersangkutan wajib mengqadha dan juga membayar fidyah sebesar satu mud untuk satu hari utang puasanya.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah bagi yang sengaja lalai meninggalkan qadha puasa, cukup dengan bertaubat dan membayar puasa yang ia tinggalkan sesuai dengan QS Al-Baqarah 184 yang selalu menjadi rujukan utama dalam menetapkan hukum puasa qadha.
أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّككُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Nurul Mahmudah, ed: Nashih)