Sebagian Muslim memandang perempuan yang hanya diam di rumah lebih mengikuti sunnah daripada perempuan yang meniti karier di luar.
Bahkan, sebagian lagi memandang perempuan wajib berdiam diri di rumah dan hanya mengurus urusan rumah. Pandangan tersebut disandarkan pada firman Allah SWT:
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ ا الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُممْ تَطْهِيْرًاۚ
“Tetaplah (tinggal) di rumah-rumahmu dan janganlah berhias (dan bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu.
Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan dosa darimu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS Al-Aḥzab [33]:33)
Ahli tafsir kenamaan abad ke-7 Hijiriyah, al-Qurthubi (w. 671 H.) menilai meski perintah ayat di atas khusus untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW, akan tetapi perintah tersebut juga berlaku bagi seluruh Muslimah.
Sebab, dalam pandangan al-Qurthubi, syariat Islam dipenuhi dengan aturan yang menyuruh perempuan berdiam diri di rumah kecuali dalam keadaan darurat. (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an juz 14, hlm 179)
Sejalan dengan al-Qurthubi, mufasir lain seperti Ibn Katsir (w 774 H) memandang ayat di atas tidak hanya perintah kepada istri Nabi Muhammad SAW, tapi seluruh Muslimah. Ayat di atas diandaikan agar dilaksanakan perempuan Muslimah, mengikuti istri-istri Nabi. (Lihat Tafsir Ibn Katsir juz 6, hlm 363)
Menariknya, ahli tafsir awal abad ke-4 Hijriyah, Ibn Jarir al-Thabari (w 310 H) tidak berkomentar seperti dua mufasir sebelumnya. Ibn Jarir tidak berpendapat bahwa ayat 33 surat al-Ahzab tadi merupakan perintah kepada selain istri Nabi Muhammad SAW. Justru di awal penafsirannya, Ibn Jarir menegaskan perbedaan serta keistimewaan Istri Nabi Muhammad SAW dibanding perempuan lain. Sudah jelas pada ayat sebelumnya Allah SWT berfirman:
يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ
“Wahai istri-istri Nabi, kamu tidaklah seperti perempuan-perempuan yang lain jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu merendahkan suara (dengan lemah lembut yang dibuat-buat) sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. “ (QS Al-Aḥzāb [33]:32)
Saking jelasnya ayat ini, Ibn Jarir tidak memberi penjelasan pada ayat setelahnya kalau perintah berdiam diri di rumah juga diwajibkan bagi semua Muslimah. Dalam tafsirnya, Ibn Jarir tidak memisahkan penjelasan ayat 32-33.
Jadi, dalam pandangan Ibn Jarir ayat yang memerintahkan berdiam diri di rumah adalah khusus untuk istri-istri Nabi SAW. (Lihat Jami’ al-Bayan li Ta’wil ayy al-Qur’an juz 20, hlm 257).
Pengarang tafsir Mafatih al-Ghaib, ar-Razy (w 606 H) juga tidak menyinggung kewajiban berdiam diri di rumah adalah kewajiban semua muslimah. Ar-Razy tampak seperti al-Thabari yang memandang ayat 33 tentang kewajiban berdiam diri di rumah merupakan perintah istimewa dari Allah SWT kepada istri-istri Nabi SAW. (Lihat Mafatih al-Ghaib juz 25, hlm 167)
Sementara ahli tafsir kontemporer, Ibn ‘Asyur menafsirkan bahwa ayat 33 surat al-Ahzab tadi adalah kewajiban bagi istri Nabi dan kesempurnaan (bukan kewajiban) bagi Muslimah lain. Seolah Ibn ‘Asyur ingin mengambil titik tengah antara perbedaan pendapat ahli tafsir sebelumnya. (Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir juz 22, hlm 10)
Keterangan-keterangan tersebut adalah yang ditampilkan oleh ahli tafsir. Lantas, apakah pada kenyataannya istri-istri Nabi Muhammad SAW hanya berdiam dan menutup diri di rumah dan hanya mengurus urusan domestik?
Adalah istri Nabi SAW, Zainab binti Jahsy yang kiranya akan menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu istri Nabi ini masyhur senang bersedekah. Sampai-sampai dalam hadits Nabi menyebutnya “si panjang tangan.”
Maksud panjang tangan di sini bukan berarti suka mencuri seperti dalam peribahasa Indonesia. Panjang tangan dalam ungkapan Arab adalah dermawan dan senang berbagi.
Dari mana asal harta yang disedekahkan? Apakah dari Nabi? Jawabannya dari dirinya sendiri. Zainab binti Jahsy memiliki tangan yang terampil. Dia bahkan memiliki semacam industri rumahan di bidang kerajinan tangan. Dalam kitab Mustadrak Hakim diceritakan dari Aisyah RA:
وَكَانَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةٌ صَنَّاعَةَ الْيَدِ فَكَانَتْ تَدْبُغُ وَتَخْرُزُ وَتَصَدَّقُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Zainab adalah perempuan yang tangannya sangat terampil. Dia dapat menyamak kulit, menjahit/membuat kalung dari manik-manik, dan gemar bersedekah di jalan Allah.”
Hadits ini menunjukkan perintah kepada istri Nabi SAW berdiam diri di rumah bukan berarti membatasi potensi yang dimiliki. Bukan berarti perempuan tidak boleh mengerjakan apa-apa atau tidak boleh berkreasi. Perempuan berhak mandiri dan memaksimalkan bakat dan minatnya untuk berkontribusi dalam jalan kebaikan di jalan Allah SWT.
Kita mengenal dengan baik Khadijah, istri pertama Nabi SAW. Kita tahu Khadijah adalah pebisnis ulung dan sangat kaya serta perempuan berpengaruh di zamannya. Apakah Nabi melarangnya?
Lebih jauh, perempuan selain istri Nabi yang hidup di zaman Nabi lebih leluasa dalam berkarir karena tidak terkena kewajiban melaksanakan ayat 33 di atas. Bila perempuan muslimah lain dinilai lebih maslahat bekerja, maka itu sama sekali bukan masalah.
Sebut saja perempuan tangguh bernama Asma’, putri dari sahabat Abu Bakar. Dalam satu hadits dia bercerita:
“Zubair bin Awwam (suami Asma’) menikahiku. Saat itu, dia tidak memiliki harta dan tidak juga memiliki budak serta tidak memiliki apa-apa kecuali alat penyiram lahan dan seekor kuda. Maka akulah yang memberi makan dan minum kudanya, menjahit timbanya serta membuatkan adonan roti.
Padahal aku bukanlah seorang yang pandai membuat roti. Karena itu, para tetanggaku dari kaum Anshar-lah yang membuatkan roti. Aku memindahkan biji kurma dari kebun Zubair yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. di atas kepalaku. Tanah itu dariku atas duapertiga Farsakh (sekitar 3,6 km.)” (HR al-Bukhari no 5224)
Bagi Muslimah masa kini, dengan ditopang kecanggihan teknologi, di manapun dan kapanpun, perempuan dapat produktif. Dan bisa turut berperan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam perempuan yang berdiam diri di rumah adalah perempuan yang baik dan terjaga. Di sisi lain, perempuan yang meniti karier di luar rumah adalah perempuan hebat. Tidak ada larangan spesifik perempuan harus berperan sebagai apa dan di mana. Tergantung minat dan keinginannya.
Dalam Fatwa Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia nomor: 7/MUNAS VI/MUI/2000 tentang Pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Luar Negeri dijelaskan perempuan yang meninggalkan keluarga untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negeri, pada prinsipnya, boleh sepanjang disertai mahram, keluarga atau lembaga/kelompok perempuan terpercaya (niswah tsiqah). (Shafira Amalia, ed: Nashih).