JAKARTA—Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sekaligus anggota Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), KH Ishfah Abidal Aziz, menyampaikan tiga variabel penting dalam sustanibilitas penyelenggaraan dan pengelolaan keuangan ibadah haji.
“Berbicara tentang sustanibilitas haji, ada tiga variabel yang harus dijalankan secara bersamaan,” kata dia dikutip dari Youtube TVMUI Senin (6/2/2023) , dalam kegiatan Halaqah Mingguan Komisi Infokom MUI, Rabu (1/2/2023) lalu.
Kiai Ishfah menjelaskan, yang pertama soal efisiensi dan rasionalisasi terhadap pengelolaan keuangan haji. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) dituntut membuat rancangan dan ketentuan anggaran yang mempertimbangkan aspek efisiensi dan rasionalitas keuangan.
Dia menilai satu-satunya komponen yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara administratif adalah komponen living cost.
“Makanya kami pernah mengajukan pengurangan anggaran untuk living cost ke BPIH yang mulanya 1.500 riyal menjadi 1.000 riyal. Hampir 80 persen jamaah tidak mengelola langsung uang living cost,” kata dia.
Kedua, soal optimalisasi imbal hasil. Ke depan, BPKH akan terus mendorong untuk pengoptimalan imbal hasil dari pengelolaan haji.
“Sejauh ini, BPKH sendiri sudah membentuk unit kerja dengan Kemenag,” tutur dia.
Variabel yang terakhir adalah penyesuaian biaya perjalanan ibadah haji dengan biaya penyelenggaraan ibadah haji.
Menurutnya, untuk mencukupi operasional penyelenggaraan haji maka kemudian ada distribusi nilai manfaat.
Dia mengtakan, soal distribusi nilai manfaat dan dana efisiensi, pihaknya berusaha melakukan kajian jika kemudian skemanya bagaimana dengan keuangan haji.
“Maka kuat prediksi bahwa keungan haji akan tergerus. Kita tidak bisa lagi mencukupi nilai manfaat untuk penyelengaran haji di tahun-tahun berikutnya,” tutur dia.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom), KH Masduki Baidlowi, menyoroti kenaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang terkesan mendadak.
Bipih adalah total biaya yang harus dibayarkan calon haji. Saat ini, Bipih yang dibayarkan masyarakat nilainya sekitar Rp 39 juta. Dana itu kemungkinan akan dinaikkan menjadi Rp 69 juta.
Alasan di balik kenaikan itu, ujar Kiai Masduki, harus dijelaskan secara tuntas sehingga tidak timbul pertanyaan publik. Bila tidak, seperti yang terjadi belakangan ini, isu ini akan menjadi bahan untuk menyerang lawan politik.
“Minimal perlu dijelaskan sekarang ada dana sekian, ada investasi sekian, ada keuntungan sekian, kita ingin mendapatkan gambaran itu. Kalau tidak, ini akan menjadi isu bola panas dari politisi,” ujar dia dalam Halaqah yang sama.
(A Fahrur Rozi/Siti Nurnaimah Putri, ed: Nashih)