JAKARTA – Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, mencermati skema pengelolaan dana haji Indonesia saat ini perlu memperinci saldo yang dimiliki setiap jamaah. Saldo tersebut perlu mencakup informasi terkini dan total nilai manfaat yang didapatkan masing-masing jamaah.
“Skema saat ini masih memuat masalah aklul mal bi dhulmin (makan harta secara zalim/bukan haknya) karena kekurangan dana BPIH untuk yang akan berangkat ditutup oleh nilai manfaat orang yang belum berangkat. Saya kira ini poin penting pada aspek syar’inya dan di situlah penting untuk perbaikan tata kelolanya,” ungkapnya dalam Halaqah Komisi Infokom MUI, Selasa (01/02/2023) secara virtual.
Dia melihat, usulan proporsi BPIH yang 70 persen dari Bipih dan 30 persen dari nilai manfaat belum merinci saldo milik masing-masing jamaah. Nilai manfaat itu masih menggunakan nilai manfaat jamaah individual untuk ditempatkan di dana yang bersifat kolektif.
“Ketika saldo masing-masing jamaah sudah definitif berapa, ketika ditetapkan BIPIH dan BPIH nanti akan ketahuan kebutuhannya berapa, misalnya nanti BPIH ditetapkan 100 juta, dana jamaah yang akan berangkat berapa, idealnya esperti itu” ungkapnya.
Langkah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk membuat rekening virtual (virtual account) masing-masing jamaah, kata dia, adalah salah satu cara menetapkan berapa besar uang yang dimiliki calon jamaah mulai menyetor sampai akan berangkat.
Skema memperinci rekening tiap jamaah itu sudah dipandu Fatwa Ijtima Ulama MUI dan Undang-Undang. Dengan skema saldo personal itu, Kiai Niam menambahkan, ketika jamaah haji batal atau tidak jadi berangkat, maka uangnya bisa dikembalikan termasuk nilai manfaatnya.
“Sesuai pertimbangan syar’i, nominal setoran awal apakah itu 25 juta atau berapapun nilainya secara syar’i adalah punya jamaah, bila dikembalikan, maka hasil investasi (nilai manfaat) itu juga punya jamaah,” ujarnya. (Isyatami Aulia/Azhar/Angga)