JAKARTA— Gugatan UU Perkawinan kembali terjadi. Kali ini, gugatan tersebut muncul dari seorang Pria Katolik, Ramos Potege. Rencananya, dia ingin menikahi kekasihnya yang beragama Muslim.
Ramos mengajukan kepada MK agar memutuskan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU No 1 Tahun 1974 adalah inkonstitusional.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) tersebut berbunyi, “1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
“2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Sedang Pasal 8 huruf f: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Ramos beralasan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin kemerdekaan Warga Negara memeluk keyakinan sesuai dengan kepercayaannya.
Pada putusannya, MK menolak permohonan tersebut karena Hakim MK Wahiduddin Adams menilai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bukan berarti menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya.
Di tempat lain, Prof Muhammad Amin Suma, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan keterangan ahli di sidang pleno lanjutan perihal uji materiil UU No 1 Tahun 1974.
Dalam keterangan tertulisnya yang dikutip MUIDigital, Rabu (1/2/2023) tersebut, setidaknya ada tiga poin yang harus diperhatikan:
Pertama, bahwa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan, secara umum dan keseluruhan masih tetap sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Kedua, berdasarkan sumber dan/atau dalil-dalil hukum, perkawinan beda agama dalam hal ini antara calon mempelai Muslim/Muslimah dengan calon mempelai non Muslim/Muslimah” pada dasarnya “dihukumkan haram” dan dinyatakan “tidak sah” secara hukum baik menurut semangat peraturan perundang-undangan negara maupun spirit hukum agama Islam (fikih) dan bahkan juga menurut kecenderungan hukum yang hidup (fiqh al-hayah; leaving law) pada kebanyakan atau umumnya masyarakat Muslim Indonesia.
Hal yang serupa tampak juga ada pada bagian terbesar masyarakat beragama non Islam yang lain-lainnya.
Ketiga, dengan memperhatikan dasar/dalil hukum (materiil) di atas, maka kesimpulannya, bahwa hukum materiil Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan dalam hal ini Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 8 huruf f tidak berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, secara umum dan keseluruhan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan, di dalamnya tidak ada pasal-pasal yang merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia.
Termasuk di dalamnya Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f yang melarang perkawinan antara orang yang berbeda agama, dalam hal ini antara warga negara yang beragama Islam dengan non Muslim.
Sebelumnya, Majelis Hakim MK menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang diajukan E. Ramos Petege, usai gagal meresmikan jalinan asmaranya dengan gadis pujaannya karena perbedaan agama.
Diketahui, pemohon E Ramos Petege merupakan seorang pemeluk Katolik, sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.
Meskipun demikian, hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan berkaitan dengan perkawinan beda agama bisa memberikan kepastian.
“Jadi, yang selama ini di dalam ruang abu-abu, grey area, yang menjadi polemik, menjadi perdebatan, kalau sudah diputuskan MK menjadi terang benderang,” kata Muhadjir. (Ilham Fikri/Antara, ed: Nashih)