JAKARTA— Kabar ratusan siswi di Ponorogo hamil di luar nikah menambah daftar sisi kelam pergaulan anak remaja di Indonesia.
Di negara mayoritas penduduk beragama Islam, di mana zina jelas diharamkan, kasus kehamilan di luar nikah pada usia belia dan di situasi yang tidak sepatutnya masih saja terjadi.
Tidak tanggung-tanggung, menurut data yang diperoleh, pada 2021 sebanyak 266 siswi di Ponorogo menjadi pemohon dispensasi ke Pengadilan Agama Jawa Timur agar dapat menikah di bawah umur.
Sebanyak 191 pemohon di 2022, bahkan sudah ada 7 pemohon dispensasi pada awal 2023.
Mirisnya, kebanyakan dari pernikahan yang dipaksakan tersebut berakhir dengan perceraian. Dengan sebab yang amat getir.
Para perempuan yang sebenarnya harus menempuh pendidikan itu malah menjadi tenaga kerja wanita, sementara laki-laki yang seharusnya menanggung nafkah keluarga malah menjadi pengangguran karena tidak memiliki keterampilan dan pendidikan yang memadai.
Jauh-jauh hari, Alquran telah memperingatkan bahwa zina adalah perbuatan keji dan jalan paling buruk. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.” (QS Al-Isrā’ [17]: 32)
Larangan Allah SWT pada ayat di atas sangat tegas. Seperti pendapat Ibn ‘Asyur dalam kitab tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir yang mengatakan bahwa larangan “mendekati zina” adalah kiasan. Mendekatinya saja sudah tidak boleh apalagi bila melakukannya.
Kemudian Ibn ‘Asyur berpendapat ayat ini masih ada hubungannya dengan ayat sebelumnya. Berupa larangan Allah SWT bagi masyarakat Jahiliah yang gemar menyia-nyiakan keturunan dengan mengubur hidup-hidup bayi mereka.
Dalam pandangan Ibn ‘Asyur, zina sama saja dengan menyia-nyiakan keturunan. Anak yang terlahir dari hasil perzinaan menjadi korban kebejatan moral.
Bayi ini tidak akan memiliki ayah dari sudut pandang agama. Karenanya, menurut Ibn ‘Asyur, hamil di luar nikah dari hasil perzinaan, sedari awal sama saja dengan mengubur anak hidup-hidup. (Lihat at-Tahrir wa at-Tanwir juz 15, hlm. 89)
Kemudian, hal yang perlu menjadi perhatian orang tua selain dari penanaman moral agama, adalah pendidikan seksual sejak usia dini.
Meski pendidikan seperti ini masih dinilai tabu oleh sebagian orang, nyatanya pendidikan seksual sangat penting ditanamkan kepada anak.
Orang tua harus kreatif membahasakan seks sehingga terdengar ramah di telinga anak. Anak perlu diajari dan mendapat pemahaman tentang konsekuensi dari perbuatan seks yang keji, yang tidak diikat dengan akad suci.
Anak perlu tahu siapa saja yang tidak boleh menyentuh mereka. Bahwa anak harus punya keberanian menolak bila ada yang berusaha menyentuhnya. (Ilham Fikri, ed: Nashih)