JAKARTA— Indonesia dinilai sebagai satu-satunya negara yang memberikan kebebasan luas terhadap eksistensi para ulama perempuan. Siapa sebenarnya ulama perempuan dan apa saja tugas dan peran mereka?
Wakil Sekjen MUI Bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga, Nyai Badriyah Fayumi, Lc MA, menyatakan ketika keulamaan itu disandingkan dengan kata perempuan maka idhafah (penyandingan) ini memiliki sejumlah makna, yaitu pertama, perempuan dimaknai sebagai subjek jadi ketika kita bicara keulamaan perempuan maka perempuan sebagai ulama.
Kedua, perempuan punya makna yaitu tema jadi keulamaan yang pokok bahasanya adalah hal-hal yang terkait dengan perempuan yang kadang kala terlupakan ketika tidak ada subjek ulama perempuan.
“Karena itu penting ulama perempuan hadir sebagai subyek untuk bisa mengedepankan tema tentang perempuan yang dilihat dari perspektif,” ujarnya dalam Halaqah Mingguan Komisi Infokom MUI “Keulamaan Perempuan untuk Kemaslahatan Umat dan Bangsa di Era Digital”, secara daring, Kamis (29/12/2022).
Ketiga, perspektif hal ini tidak harus dimiliki perempuan tetapi boleh dengan ulama laki- laki.
Pemaknaan perempuan adalah bahwa ulama kata jamak sehingga memaknai keulamaan itu tidak hanya personal tapi kolektif.
Terkait dengan peran ulama perempuan, dia menyatakan adalah untuk kemaslahatan, keulamaan perempuan kan tidak hanya rekognisi, tercatat tetapi untuk tujuan persyaritan Islam.
Badriyah juga menyampaikan terkait kemaslahatan, ini adalah sesuatu yang dianggap baik oleh akal dan mendatangkan kebaikan menghindarkan dari bahaya yang sejalan dengan tujuan dalam penetapan tujuan syariah.
“Karena itu kemaslahatan tidak hanya baik saja tetapi harus sesuai dengan maqhasidus syariah (tujuan mulia syariah),” lanjutnya.
Dia menegaskan, berbicara kemaslahatan bangsa maka perlu mengkaitkan dengan maqhasidus syariah. “Bagaimanakah keulamaan perempuan bekerja dalam kerangka untuk menafsirkan maqhasidus syariah yang ditafsirkan ulama berjenis kelamin perempuan ada tema perempuan, perspektif perempuan, Kemaslahatan ini menjadi tantangan ulama perempuan,” ujar dia.
Nyai Badriyah mengakui memang, kehadiran ulama perempuan meski telah mendapat pengakuan sejarah, tetapi jumlah mereka masih minim.
Dia menyebutkan dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra, karya Ibnu Sa’ad yang terdiri dari lima jilid , hanya satu jilid itu untuk perempuan artinya sekitar 20 peren keulamaan perempuan itu tertulis sejarah pada masa sahabat.
Tetapi, dirinya bersyuku Indonesia alhamdulillah memiliki posisi yang sangat bagus dan bahkan kontribusi Islam sejarah yang bagus, karena MUI pada masa Prof Khuzaimah itu beliau Ketua Bidang Fatwa dalam pertemuan internasional satu satu nya mufti perwakilan negara dari Indonesia.
Nyai Badriyah mengajak segenap elemen umat, termasuk jajaran pengurus MUI tak terkecuali Komisi Infokom untuk melakukan hal berikut yaitu pertama, kita perlu sering menyebut ulama perempuan sehingga kata ulama perempuan menjadi sesuatu yang familiar di medsos bukan menjadi sesuatu yang aneh.
Kedua, ulama perempuan harus sering hadir menyampaikan pandangannya untuk memberikan kemaslahatan.
Ketiga, ulama perempuan perlu di bahas dengan perspektif perempuan di media sosial oleh ulama perempuan. Keempat, melakukan kaderisasi ulama perempuan muda.
Kelima, mengajak influencer untuk memahami tema dan perspektif keilmuan Islam. Keenam, hadirkan komunitas-komunitas belajar dimana pengasuhnya ulama perempuan yang dihadiri bisa perempuan maupun laki-laku untuk kemaslahatan semuanya. (Nadilah, ed: Nashih)