JAKARTA— Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI menggelar Refleksi 2022 dan Proyeksi 2023 dengan tema “Memperkuat Ukhuwah untuk Menciptakan Perdamaian Dunia” di Aula Buya Hamka, Kantor MUI Jakarta (21/12/2022).
Acara ini dibuka Wakil Ketua Umum MUI Dr KH Marsudi Syuhud. Selanjutnya, materi dibawakan Ketua Bidang HLNKI MUI, Prof Sudarnoto Abdul Hakim, dan Ketua Komisi HLNKI MUI Dubes Bunyan Saptomo yang dipandu Dr Ahmad Ubaidillah.
Dalam paparannya, Prof Sudarnoto, mengatakan atas beragam persoalan yang dihadapi umat Muslim di berbagai negara, MUI menyampaikan sejumlah rekomendasi agar lembaga-lembaga dunia seperti OKI, PBB, organisasi pembela HAM dan kekuatan-kekuatan civil society lainnya secara intensif juga melakukan langkah-langkah strategis menghentikan gerakan Islamofobia dan membela hak dan kedaulatan Muslim terutama di negara non-Muslim.
“Namun dalam waktu yang bersamaan upaya rekonsolidasi untuk tansiqul harokah (konsolidasi gerakan) dan taswiyatul manhaj (kesamaan berpikir dan bertindak) serta tauhidul ummah (penyatuan ummat) menjadi sangat penting. Jika ini tidak dilakukan, maka umat Islam akan mengalami kegagalan,” tambah Sudarnoto lagi.
Dia menyebutkan, keberadaan dan posisi umat Islam yang minoritas di berbagai negara non-Muslim masih belum banyak mendapat perhatian. Sebagian mereka sebetulnya mengalami berbagai tindakan kekerasan dan bahkan di luar batas kemanusiaan.
Prinsip dan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan, menurut Sudarnoto, dilanggar secara sistimatik yang dilakukan pemerintah dan kelompok politik dan ideologi sekular-radikal dan bahkan kelompok agama tertentu. Hak-hak keagamaan dan bahkan keselamatan dan hidup mereka terancam.
Selain di India, ini juga menurut dia, dialami misalnya oleh Muslim di Kashmir, Myanmar, dan Uyghur. Bahkan beberapa kasus diskriminasi, bully, penistaan terhadap muslim di beberapa wilayah di Australia, Eropa, Amerika dan Kanada juga terjadi.
Dia mengatakan, pada 2022 MUI masih memandang perlunya sebuah kepemimpinan umat Islam global yang kokoh dan efektif.
Karena itu persatuan dan kepemimpinan yang efektif harus dibangun, konflik antarfaksi-faksi Muslim dan beberapa negara anggota OKI harus dihentikan karena konflik justru akan memperlemah dan menyudutkan posisi umat dan negara-negara Muslim.
MUI menyerukan agar OKI dan organisasi-organisasi Islam dunia lainnya melakukan rekonsolidasi yang sungguh-sungguh agar kepemimpinan dunia Islam tegak secara efektif sehingga persatuan dunia Islam semakin kokoh, kemajuan dunia Islam terwujud dan perdamaian dunia tercipta,” jelas Sudarnoto.
Sudarnoto juga menyoroti soal peluang Umat Islam Indonesia. Secara demografis, Indonesia adalah bangsa dan negara Muslim terbesar di dunia. Menurutnya, tidak sedikit bangsa dan negara yang memberikan harapan (ekspektasi) dan kepercayaan terhadap peran strategis Indonesia dalam menciptakan dunia yang damai dan sejahtera.
Dia mengatakan, secara keagamaan, Muslim Indonesia menganut pandangan Wasathiyyatul Islam yang sangat diyakini mampu memberikan respons terhadap berbagai krisis kemanusiaan akibat dari konflik politik, kirisis lingkungan, kemiskinan, ekstremisme dan sebagainya.
Indonesia pun sudah disepakati menjadi negara pusat wasathiyatul Islam global dan karena itu Indonesia harus mampu menjadi teladan dan memimpin secara global menggerakkan wasatiyatul Islam untuk dunia yang sejahtera, damai dan berkeadaban.
Posisi diplomatik Indonesia yang menganut paham bebas aktif masih sangat penting dan diperlukan. “Dengan posisi ini Indonesia bisa bersahabat dan berkolaborasi dengan negara manapun secara sejajar. Karena itu, upaya penciptaan perdamaian dunia yang dilakukan oleh Indonesia menjadi perhatian dan sangat penting,” katanya.
Sudarnoto berharap peberadaan kekuatan dan organisasi civil society Muslim Indonesia menjadi sangat penting dalam rangka ikut serta memperkokoh dan membela kedaulatan dan kemanusiaan, kedamaian, kesejahteraan dan keadaban dunia. Karena itu, peran-peran diplomatic organisasi sicil society Muslim ini perlu untuk dioptimalkan. (Yanuardi, ed: Nashih)