JAKARTA— Wakil Ketua Umum MUI, Dr KH Marsudi Syuhud Marsudi mengatakan bahwa dakwah itu membangun, bukan merusak, apalagi merobohkan.
“Kalau ada yang belum sempurna, belum sesuai dengan apa yang kita kehendaki, maka mari kita perbaiki, jangan dirusak,” jelas Kiai Marsudi saat membuka Standardisasi Kompetensi Dai.
Kegiatan kali ini memasuki angkatan ke-18 pada Senin (28/11/2022) di Wisma Mandiri, Menteng, Jakarta.
Dia kemudian memberi perumpamaan bagaimana seseorang diberi makanan yang banyak dan semuanya halal.
Meski semua halal namun dia tetap harus memilih. Dia harus sesuaikan dengan kondisi tubuhnya. Kalau dia telah mengidap penyakit gula maka dia harus menghindari makanan yang manis-manis.
Dakwah pun demikian pula. Meskipun banyak materi dakwah yang bisa kita utarakan kepada masyarakat, tetap saja harus dipilih dan disesuaikan dengan keadaan bangsa dan negara.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menggelar Standardisasi Kompetensi Dai. Kegiatan kali ini memasuki angkatan ke-18 pada Senin (28/11/2022) di Wisma Mandiri, Menteng, Jakarta.
Sementara itu, dalam kegiatan yang diikuti sekitar 100 peserta dari utusan dari berbagai ormas Islam, pesantren, dan perguruan tinggi Islam ini, Sekjen MUI Buya, Dr Amirsyah Tambunan, menegaskan bahwa dakwah itu merangkul, bukan memukul.
Karena itu, kata Buya, seorang dai harus memiliki wawasan yang luas sehingga dia bisa memberikan solusi terhadap problem yang dihadapi umat, bukan sekadar membahas surga dan neraka saja
Adapun peran strategis dan kiprah ulama, jelas Buya, ada berbagai rupa. Pertama, sebagai pewaris nabi dan penjaga misi kenabian. Kedua, garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara.
Ketiga, ikut memperjuangkan kemaslahatan umat dan bangsa. Kiprah para ulama ini kemudian direpresentasikan dalam sebuah organisasi atau wadah bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sementara itu, Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Drs Ahmad Zubaidi MA, saat memberikan laporan, mengatakan bahwa jumlah dai yang telah distandarkan MUI sampai saat ini sekitar 1.100 orang. Mereka ini insya Allah telah memahami persoalan keislaman, kebangsaan, dan metoda dakwah yang baik.
Ide terlaksananya program standardisasi ini, jelas Kyai Zubaidi, muncul karena banyaknya dai yang tampil di depan publik namun kurang menguasai konten. Di sisi lain, banyak pula dai yang kurang memiliki wawasan kebangsaan , dan metode dakwah yang kurang pas.
Dai dengan konten yang kurang memadai ini berisiko membuat masyarakat kurang tercerahkan, bahkan bisa memanas, padahal yang disampaikan tersebut kebenaran. Yang lebih mengkhawatirkan, para dai sendiri bisa terjebak dalam persoalan hukum negara.
“Sebenarnya ini bukan pelatihan. Kita berkumpul di sini untuk menyamakan visi dan misi, bahwa dakwah kita harus memiliki tujuan yang sama,” jelas Zubaidi. (Mahladi, ed: Nashih)