Hari ini, Senin (26/9/2022), bertepatan dengan akhir Safar 1444 Hijriyah. Sebagian masyarakat Indonesia tidak berani menggelar pernikahan di Safar. Alasannya, Safar dianggap membawa pada nasib buruk atau kesialan. Pandangan ini seolah turun temurun diwarisi dari generasi ke generasi.
Sebenarnya, seperti apa sejarah penamaan bulan ini? Apa saja peristiwa penting di dalamnya? dan bagaimana ajaran Islam memandang bulan kedua setelah Muharram pada kalender Hijriyah ini?
Sejarah penamaan Safar
Kata Safar sendiri terdiri dari tiga huruf shad, fa’, dan ra’ bila digabung akan memiliki variasi cara baca dan memiliki banyak arti. Dalam kamus Lisanul ‘Arab karya Ibnu Mandzur, kata ini dapat berarti warna kuning (Shufrah) dapat pula berarti kosong (Shafar). (Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Beirut, juz 4, hlm. 460-462)
Adapun penamaan Safar lebih dekat pada makna kedua yakni Safar yang berarti kosong. Sebab pada bulan ini, orang Arab bepergian, mengosongkan rumah dan kota untuk perang, setelah tiga bulan sebelumnya merupakan bulan hurum/haram di mana perang mutlak dilarang. (Muhammad Abu Syuhbah, as-Sirah an-Nabawiyyah ‘ala Dlauil Quran was Sunnah, Darul Qalam juz 1 hlm. 140)
Akibatnya, konon, sampai dikatakan kota Makkah kosong melompong pada bulan tersebut kecuali orang yang tidak mampu sebab miskin, tidak memiliki bekal cukup untuk melakukan perjalanan.
Orang-orang yang ditinggal ini mengeluh seraya berkata, “Shafira an-Nasu minna shafaran (Orang-orang mengosongkon kota (meninggalkan) kita sebab kita miskin (kosong/tidak memiliki harta).” (al-Mufasshal fi Tarikhil ‘Arab qablal Islam, juz 6 hlm. 120)
Mitos seputar Safar
Masyarakat Arab sebelum datangnya ajaran Islam memandang bahwa bulan Safar membawa petaka, kesialan dan hal negatif lainnya. Saking mereka menganggap bahwa bulan Safar tidak ada baiknya, mereka menjuluki bulan ini Shafarul Khair (kosong dari kebaikan).
Setelah datangnya ajaran Islam, keyakinan tersebut terkikis karena Islam mengajarkan tidak ada hari, bulan, atau waktu yang membawa kesialan. Semua hal terjadi atas izin dan kehendak Allah. (Bakar Abu Zaid, Mu’jam al-Manahi al-Lafdziyyah, Darul ‘Ashimah, hlm 638)
Nabi, dalam salah satu riwayat hadits, dengan tegas berkata:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak benar adanya tiyarah (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak benar adanya burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan `1tidak benar beranggapan adanya nasib sial di bulan Safar.” (HR Bukhari no 5316)
Dengan hadits tersebut, rasanya sudah sangat amat terang, bahwa kesialan pada Safar hanyalah mitos. Sebagai bukti, banyak peristiwa penting yang menunjukkan kesialan di bulan Safar merupakan keyakinan tak berdasar.
Peristiwa penting
Habib Abu Bakar al-‘Adni bin ‘Ali al-Masyhur menjelaskan beberapa peristiwa penting yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dengan gamblang menyelisihi perilaku masyarakat Arab sebelum Islam.
Penjelasan ini dirangkai dalam untaian syair indah yang berjudul “Mandzumatu Syarhil Atsar fi Ma Warada ‘an Syahri Shafar” (Untaian Syair berdasarkan Riwayat Tentang Bulan Shafar).
Di antaranya, pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan istrinya tercinta, Khadijah binti Khuwailid. Rasulullah SAW juga menikahkan putrinya Fatimah az-Zahra dengan sahabat ‘Ali, hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah dan selamat dari kejaran orang musyrik, Perang Abwa yang merupakan perang pertama umat Islam, berakhir dengan kemenangan dan Perang Khaibar, umat Islam juga memenangkan perang ini.
(Lihat Abu Bakar al-‘Adni bin ‘Ali al-Masyhur, Mandzumatu Syarhil Atsar fi Ma Warada ‘an Syahri Shafar, hlm. 9 dalam bab Mukhalafatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallama al-Jahiliyyah fi ‘adatihim)
(Ilham Fikri)