JAKARTA — Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI) Buya Amirsyah Tambunan mengajak semua pihak untuk memperkuat dan mengembangkan Industri Keuangan Keuangan non Bank (IKNB).
Sekjen MUI mengatakan, ekonomi dan keuangan syariah yang sedang dikembangkan, sudah sistem ekonomi resmi di Indonesia.
“Merupakan penjabaran dan implementasi dari ajaran Islam yang menjadi keyakinan umat Islam di Indonesia,”kata Buya Amirsyah dalam Worskhop Pra Ijtima ketujuh, di Hotel Balairung, Jakarta Timur, Jumat (23/9/2022).
Pada kesempatan ini, Buya Amirsyah juga menyampaikan apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menetapkan untuk menolak secara keseluruhan permohonan uji materil dari seorang warga yang menggugat kedudukan MUI sebagai pihak yang diberikan kewenangan untuk menetapkan fatwa di bidang syariah.
Hal ini, kata Buya Amirsyah, sebagaimana tercantum pada Pasal 1 angka 12 dan Pasal 26 ayat 1 dan 2 UU Nomor 21 Tahun 2018 Tentang Perbankan Syariah.
“Menurut pemohon pada substansinya bahwa pemberian kewenangan kepada MUI terkait penetapan fatwa aspek syariah seperti di bidang perbankan syariah, IKNB tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya perlu dialihkan kepada lembaga lain,” ungkapnya.
Buya Amirsyah menuturkan, pihak termohon dalam perkara ini tidak hanya MUI, tetapi DPR, BI dan OJK.
Menurut dia, hal ini dapat dijadikan momentum dalam memperkuat peran MUI untuk pengembangan industri keuangan syariah seperti asuransi syariah di Indonesia.
“Untuk itu mengajak stakeholder, artinya semua pihak dalam masyarakat, termasuk individu atau kelompok yang memiliki kepentingan atau peran dalam suatu perusahaan atau organisasi yang saling berhubungan dan terikat untuk memperkuat IKNB mendukung spin off 2024,” jelasnya.
Dalam regulasi tersebut, ujar Buya Amirsyah, ketentuan POJK Nomor 67 Tahun 2016 mencakup dua hal. Pertama, jumlah modal disetor minimum Rp 100 M bagi perusahaan asuransi syariah.
Kedua, ekuitas paling sedikit Rp. 50M bagi perusahaan asuransi syariah. Sedangkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Peransuransian menegaskan dua hal.
Pertama, kata Buya Amirsyah, dana tabarru dan dana investasi paling sedikit 50% dari total nilai dana asuransi, dana tabarru dan dana investasi perusahaan induk wajib spin-off.
Kedua, lanjutnya, penyertaan langsung asing paling banyak sebesar 80%. Di samping itu, dalam POJK Nomor 72 Tahun 2015 ditegaskan bahwa tingkat solvobilitas minimal 100%.
Oleh karenanya, Buya Amirsyah mengajak semua pemangku kepentingan, terutama para DPS MUI untuk meningkatkan kompetensi yang mencakup pengetahuan, komitmen dan integritas sebagai DPS MUI.
Hal ini bertujuan agar para DPS MUI dapat melaksanakan tugasnya untuk melakukan pengawasan skema pembiayaan agar sesuai fatwa MUI dan sesuai prinsip syariah.
“DPS juga harus terus mendorong agar perusahaan perasuransian dapat melakukan akselerasi spin off 2024 agar iklim dunia usaha di Indonesia pulih lebih celat, bangkit lebih kuat,” pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan ini di antaranya Wakil Ketua Umum MUI Buya Anwar Abbas, Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi KH Abdullah Jaidi, Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis dan pengurus lainnya.
(Sadam Al-Ghifari/Fakhruddin)