Kemudahan mengakses informasi di era digital kini, membawa efek positif beserta efek negatif sekaligus. Terutama di dunia media sosial. Platform yang pada mulanya alat berbagi informasi dengan sangat cepat, pada beberapa hal malah membawa kita pada bencana post-truth. Merespons fenomena ini, MUI mengeluarkan fatwa tentang panduan bermedia sosial.
Post-truth sendiri dalam Oxford Dictionary berarti keadaan di mana fakta objektif dikalahkan oleh emosional serta kepercayaan pribadi seseorang. Mudahnya, jika suatu fakta kebenaran tidak sesuai dengan selera atau cara pandang seorang pengguna medsos, secara otomatis dia akan menolak fakta kebenaran tersebut secara emosional.
Di sinilah gerbang permulaan kabar bohong atau hoaks bertebaran dan dipercayai. Belum lagi sistem algoritma yang selalu merekomendasikan konten paling banyak berinteraksi dengan pengguna. Jika seorang pengguna menggemari konten yang sebenarnya hoaks, dia akan semakin larut di dalamnya.
Kekacauan genting ini merangsek, lalu mengubah berbagai pandangan hidup seseorang. Pergaulan (Mu’amalah) manusia, dewasa ini tidak hanya terbatas di dunia nyata melainkan juga di dunia maya atau dunia digital.
Merespon dan mempertimbangkan fenomena ini, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, tokoh, dan cendikiawan Muslim menetapkan fatwa No. 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermu’amalah Melalui Media Sosial.
Dalam fatwa tersebut kita diingatkan kembali bahwa meski ajaran Islam turun 14 abad lalu, ajarannya masih relevan hingga sekarang. Misalnya firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.” (al-Hujurat [49] : 6)
Ayat ini mengingatkan kepada kita mengenai kehati-hatian dalam menyaring, memverifikasi, dan memastikan kebenaran informasi sesuai fakta sebelum menyebarkannya. Sebelum kita menyesali perbuatan kita bila ternyata konten informasi yang sudah kadung kita sebar adalah berita bohong.
Dalam ayat lain, Allah berfirman :
اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (an-Nur [24] : 19)
Sementara ayat ini dengan sangat jelas mengancam orang yang justru senang dengan tersebarnya berita bohong. Orang demikian akan mendapatkan balasan pedih dari Allah baik di dunia atau di akhirat. Ayat-ayat di atas hanya dua dari total lima ayat yang dikutip di fatwa MUI.
Sebenarnya, selain al-Quran, dalam fatwa MUI soal pergaulan di medsos ini tercantum hadis, kaidah fikih, dan pendapat ulama klasik yang dapat dijadikan sandaran. Namun, bila semua dicantumkan di dalam tulisan ini akan memakan tempat.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut MUI menetapkan hukum dan pedoman bermu’amalah di media sosial. Di antaranya, ketika memanfaatkan medsos, seorang muslim wajib hukumnya senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong pada kekufuran dan kemaksiatan.
Lalu wajib hukumnya menebar konten yang memperkuat tali persaudaraan. Baik persaudaraan sesama umat Islam, sesama anak bangsa Indonesia, sesama manusia dan wajib memperkokoh kerukunan antar sesama muslim mau pun non-muslim.
Kemudian dalam Fatwa MUI No.24 tahun 2017 di atas, dijelaskan bahwa haram hukumnya bagi seorang muslim menyebar, mencari-cari, memproduksi konten yang berisi: fitnah, ujaran kebencian, kabar bohong, membuka aib/kejelekkan seseorang, adu domba, gosip, bullying/perundungan dan sejenisnya yang dapat menimbulkan kekacauan di masyarakat.
Selain itu, MUI memberi pedoman bagi masyarakat dalam penggunaan media sosial, di antaranya: media sosial dapat dijadikan media silaturahim, edukasi, dakwah, rekreasi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan hal positif lainnya yang sesuai dengan syariat.
Perlu diingat, berinteraksi melalui media sosial harus dilakukan tanpa melanggar ketentuan agama dan hukum perundang-undangan yang berlaku. Terakhir dalam pedoman tersebut MUI mengingatlkan bahwa konten yang berada di media sosial memiliki kemungkinan benar atau salah.
Konten yang baik belum tentu benar sesuai fakta, yang benar belum tentu bermanfaat, yang bermanfaat belum tentu cocok disampaikan di ranah publik yang semua kalangan dapat melihat dan menyebarkannya, dan tidak semua konten yang benar itu boleh atau pantas disebar ke ranah publik.
Tulisan ini hanya menampilkan beberapa poin penting dalam Fatwa MUI No. 24 tahun 2015, selengkapnya bisa pembaca akses di: https://mirror.mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/Fatwa-No.24-Tahun-2017-Tentang-Hukum-dan-Pedoman-Bermuamalah-Melalui-Media-Sosial.pdf
(Ilham Fikri/Fakhruddin)