JAKARTA – Gurubesar UIN Jakarta, Prof Andi Faisal Bakti, menyampaikan enam unsur penting sebagai pegangan penanggulangan bencana dalam perspektif fiqihiyyah (fiqih bencana).
“Di sini ada enam yang merupakan unsur penting tentang fiqih bencana,” terangnya dalam acara Sosialisasi dan Pelatihan Pengurangan Risiko Bencana, Jumat (19/08).
Enam unsur itu adalah alquran dan hadits (dalil naqli), kaidah fiqhiyyah, seperti darul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, adillah al-ahkam (istinbat hukum yang dilakukan para fuqaha), maqashidus asy-syariah, akal rasio (dalil aqli), dan sosial budaya (social culture).
Rumusan unsur penting ini diharapkan menjadi tuntunan dalam penanggulangan bencana. Tidak kalah penting adalah ilmu pengetahuan sebagai pendekatan sains yang rasional. Umat muslim, menurut Andi, masih terbelakang dalam hal ini.
“Intinya jangan membuat kerusakan di atas bumi, itu bahaya bagi kita sendiri dan melanggar ketentuan Allah,” harap dia.
Fiqih kebencanaan sendiri mengenal derivasi bencana dengan banyak istilah di dalamnya. MUI setidaknya merumuskan istilah itu menjadi tujuh macam yang merupakan konsensus kelembagaan di LPB MUI.
Diantara rumusan istilah itu yaitu biasa disebut dalam Alquran dengan mushibah, bala’, azab, fitnah (cobaan), tadmir, halak dan nazilah.
“Namun saya akan menambah itu karena ini popular disebutkan, yakni istilah fasad,” tambahnya.
Dalam acara yang digelar oleh Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) MUI itu, Andi menyebut bencana terjadi bisa dikategorikan dalam tiga hal, bencana alam, non alam, dan manusia.
Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus atau angina topan. Bencana non alam bisa berupa kegagalan tekhnologi, juga bencana kemanusiaan biasa terjadi seperti kemisinan dan terorisme.
Meski disadari, demikian dikatakan dalam nash, bahwa beragam bencana itu terjadi karena ulah tangan manusia.
“Jangan kaget ketika dikatakan, bahwa sesungguhnya alam diserahkan sepenuh kepada manusia, Allah itu sudah beristiwa ke arsy,” kata Andi menjelaskan. (A Fahrur Rozi/Angga)