JAKARTA — Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, KH Ahmad Zubaidi, mencemaskan kondisi dakwah dalam media sosial yang akhir-akhir ini semakin marak disuarakan. Pasalnya, semua orang memiliki hak berpendapat yang sejauh ini tidak bisa dipastikan kebenaran dakwah yang mereka sampaikan.
Media sosial menjadi ladang pertarungan ideologi kelompok yang satu dan yang lain. “Dakwah di media sosial di satu sisi begitu semarak, begitu ramai, begitu variatif ya namun di sisi lain kadang-kadang kita tidak tahu arahnya mau ke mana sebenarnya,” papar Kiai Zubaidi dalam acara Halaqoh Dakwah Komisi Dakwah MUI di Aula Pusat MUI, Kamis (21/4/2022).
Menurut Kiai Zubaidi, masyarakat kita menjadikan media sosial sebagai rujukan utama dalam mencari sumber pengetahuan, utamanya dalam hal keagamaan. Kondisi itu, kata dia, dihadapkan dengan ketidaksiapan masyarakat dalam menyikapi informasi beragam dan lemahnya lembaga penyiaran sebagai alat kontrol untuk mengantisipasi hal itu.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), misalnya, kewenangan yang dimiliki belum sampai pada ranah mengatur media sosial yang berkembang, dan hanya terbatas pada siaran radio maupun telivisi yang di bawah kendalinya. Kondisi itu, menurut Kiai Zubaidi, menuntut kemandirian personal, baik dalam bersikap maupun mengidentifikasi konten yang tidak sesuai dengan kode etik penyiaran.
Sehingga, hadirnya Halaqoh Dakwah yang bertemakan “Memetakan Narasi Dakwah dalam Media Sosial” menjadi suatu pelatihan khusus dalam membentuk sikap bijak dan arif dalam bermedia sosial, “Kita tentu yang bergerak di bidang dakwah ini harus bisa memberikan suatu intervensi walaupun ini sesuatu yang barangkali masih berupa angan-angan karena memang saat ini dunia membawa perubahan yang begitu besar,” ungkap dia.
Lebih lanjut, Halaqoh Dakwah dengan hadirnya pakar media sosial, Ismail Fahmi dan Ketua MUI bidang Dakwah, KH Cholil Nafis sebagai narasumber, diharapkan bisa membekali kedisiplinan pribadi dai digital, yakni kemampuan mengidentifikasi dinamika isu dan narasi yang berkembang dengan pengetahuan yang objektif dan moderat, juga bisa melakukan usaha-usaha preventif dalam mencegah paham dan ideologi yang tidak bernafaskan media sosial.
Meski di satu sisi, Kiai Zubaidi mengakui ada banyak kelemahan dari dakwah di media sosial, seperti psikologi batin antara dai dan jamaah yang bertemu langsung di suatu majelis, atau ikatan silaturrahim antara jamaah yang satu dan yang lain, yang tentu keberadaannya membentuk pemahaman yang berbeda pula dalam memahami narasi keagamaan dewasa ini.
“Dialog itu membentuk pemahaman yang tertanam dalam diri kita yaitu adanya kebersamaan dan saling memahami tapi dunia medsos kita sekarang ada dunia yang memisahkan jarak secara fisik ya dan kadang-kadang itu membuat konten itu begitu liar,” katanya.
(A Fahrur Rozi/Fakhruddin)